Perjanjian Perkawinan

Perjanjian Perkawinan

Litigasi - Tujuan perkawinan adalah membentuk rumah tangga yang rukun dan damai atau sakinah mawaddah warrahmah sesuai dengan tuntunan agama dan peraturan negara. Namu tak jarang terjadi perselisihan atau perceraian di antara suami isteri. Salah satu masalah yang timbul akibat perceraian itu adalah penyelesaian harta, baik harta bersama maupun harta asal (harta bawaan). Suami atau isteri sering kali mendalilkan hal yang berbeda untuk mengukuhkan haknya, dan bisa saja penyelesaian harta diupayakan hingga ke hadapan hakim.

Calon suami atau isteri pada faktanya ada yang memiliki harta kekayaan yang lebih besar sebelum menikah, kemudian mengawatirkan terjadinya percampuran harta yang akan didapat setelah pernikahan terjadi. Dan untuk itu dipandang perlu melakukan langkah antisipatif menyelamatkan harta kalau-kalau terjadi perceraian. Maka keduanya dapat membuat perjanjian perkawinan sebelum akad nikah dilakukan.

ads

Di dalam hukum memang diatur perjanjian perkawinan itu. Yang dimaksud perjanjian perkawainan itu adalah perjanjian yang dilakukan oleh calon suami/istri mengenai kedudukan harta setelah mereka melangsungkan pernikahan. Jadi sah-sah saja hal itu dilakukan oleh kedua belah pihak yang dituangkan di dalam sebuah akta otentik dengan menyebutkan klausul-klausul yang membatasi tindakan masing-masing pihak dalam memandang dan menyikapi harta yang telah atau akan ada.

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya berjudul “Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu” Halaman 11, Kata perjanjian kawin diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu.

Sedangkan R. Soetojo Prawirohamidjodo, dalam bukunya berjudul “Berbagai-Bagai Masalah Hukum Dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan” Halaman 57, mengatakan bahwa “Perjanjian kawin ialah perjanjian yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka”.

Dari kedua pengertian perjanjian kawin tersebut, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa perjanjian kawin merupakan perjanjian yang dibuat oleh dua orang sebagai calon suami isteri sebelum dilangsungkan akad nikah atau pada saat akad, terdapat unsur-unsur yang sama, yaitu perjanjian dan unsur harta kekayaan dalam perkawinan.

Apakah penting perjanjian perkawinan itu dibuat oleh calon isteri dan suami? Ini sangat relatif, bagi yang merasa berkepentingan menyelamatkan hartanya maka itu penting, tetapi jika tidak ada kekhawatiran terjadinya percampuran harta maka tidak penting. Namun demikian ada beberapa faktor yang mendorong dibuatnya perjanjian perkawainan. Hal itu sebagaimana diungkap oleh Titik Triwulan, dalam bukunya berjudul “Pengantar Hukum Perdata Indonesia Halaman 129, menyebutkan bahwa pada umumnya perjanjian perkawinan dibuat untuk:

  1. Bilamana terdapat sejumlah kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pada pihak lain;
  2. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (inbreg) yang cukup besar;
  3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri, apabila salah satu jatuh pailit yang lain tidak tersangkut;
  4. Atas hutang mereka yang dibuat sebelum kawin. Masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri.

Perjanjian perkawinan telah diatur dalam Pasal 29 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatakan tentang beberapa hal yang harus diperhatikan ketika akan dibuatnya perjanjian pernikahan, diantaranya:

ads

  1. Dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
  2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
  3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
  4. Selama perkawinan berlangsung tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menggariskan bahwa ada 2 (dua) macam harta perkawinan, yaitu harta asal/harta bawaan dan harta bersama. Yang dimaksud dengan harta asal atau harta bawaan itu adalah harta yang dibawa masing-masing suami/istri ke dalam perkawinan, dimana pengurusannya diserahkan pada masing-masing pihak. Sedangkan harta bersama adalah harta yang didapat pada masa perkawinan di luar hadiah atau harta warisan yang diperoleh oleh suami atau isteri.

Harta yang didapat di masa perkawinan bisa saja tidak termasuk harta bersama jika kedua belah pihak telah membuat perjanjian perkawinan yang mengatur tentang pisah harta. Pasal 47 Buku I Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis mengenai kedudukan harta dalam perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Pihak yang mengesahkan perjanjian itu adalah pegawai pencatat nikah.

Keberadaan perjanjian perkawinan itu tetap berlaku sepanjang tidak ada yang membatalkannya. Atau didalam UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam menyebutkan sebab batalnya hapusnya perjanjian perkawinan yaitu karena suami/istri melanggar apa yang sudah diperjanjikan, atau suami/istri tidak memenuhi salah satu syarat dalam perjanjian perkawinan (hj).