Pengusaha Tak Boleh Larang Perkawinan Buruh Seperusahaan
@ilustrasi

Pengusaha Tak Boleh Larang Perkawinan Buruh Seperusahaan

Litigasi - Melangsungkan perkawinan bagi pasangan laki-laki dan perempuan pastinya bertujuan membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah.

Perkawinan adalah hak konstitusional bagi setiap warga negara yang dituangkan ke dalam konstitusi. Oleh karenanya semua norma hukum dan semua pihak harus mendukungnya, tidak boleh membatasinya, menyimpang dari hal itu adalah pelanggaran hukum.

ads

Konkritnya jaminan perlindungan itu diabadikan di dalam Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:

Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Kemudian Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa:

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha esa.

Namun demikian, masih ada pihak-pihak mencoba membatasi hak konstitusi warga negara untuk melangsungkan perkawinan itu. Terkadang dengan alasan yang tidak logis pasangan batal melangsungkan perkawinan karena halangan atau gangguan dari pihak lain.

Contohnya saja di dalam dunia kerja. Sering pengusaha memberlakukan aturan yang membatasi pekerja melangsungkan perkawinan dengan pasangannya yang juga terikat hubungan kerja dalam satu perusahaan, atau pasangannya masih aktif bekerja dalam satu perusahaan. Alasannya adalah akan menggangu kinerja dan produktivitas keduanya.  

Pemberlakuan aturan itu terkadang keras dan kaku sehingga perkawinan harus dilangsungkan secara diam-diam, atau salah satu pihak mengambil keputusan untuk mengundurkan diri, atau pengusaha yang mengambil tindakan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

ads

Memang ketentuan terkait larangan pengusaha melakukan (PHK) oleh sebab adanya pertalian darah atau ikatan perkawinan antar sesama pekerja telah diatur dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa:

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pengertian pasal itu bahwa pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan pekerja terikat tali perkawinan dengan pasangan yang memiliki hubungan kerja dalam satu perusahaan, tetapi PHK itu boleh dilakukan asalkan sebelumnya ada diperjanjikan yang menyepakati untuk tidak menjalin ikatan perkawinan antara pekerja dalam satu perusahaan. Jadi tetap saja ada cela bagi pengusaha, apalagi pekerja dalam posisi tidak sederajat dengan pengusaha, sehingga pemberlakukan aturan di dalam perjanjian sesuai kemauan pengusaha.  

Dalam perkembangannya, negara sudah serius membela hak-hak pekerja berkaitan dengan perkawinan itu, penegasan itu dituangkan di dalam Putusan No. 13/PUU-XV/2017.

Dalam putusan MK itu dinyatakan frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”, dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f diatas mempunyai tafsir lain bagi Pengusaha. Dimana adanya frasa “pengecualian” dalam ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f tersebut, dapat membuka peluang terjadinya pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha dikarenakan adanya pertalian darah atau ikatan perkawinan antara pekerja dalam satu perusahaan apabila dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan maupun dalam perjanjian kerja bersama. Hal demikianlah yang mengakibatkan terabaikannya hak-hak sesama pekerja dalam satu perusahaan yang berkeinginan melangsungkan perkawinan namun terganjal oleh peraturan yang dibuat oleh perusahaan.

Namun pada tahun 2017, Ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f tersebut dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Kemudian Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor: 13/PUU-XV/2017. menyatakan bahwa frasa “Kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

ads

Selanjutnya dalam pertimbangannya mahkamah berpendapat bahwa “Pembatasan sebagaimana termuat dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU No. 13 Tahun 2003 tidak memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain karena tidak ada hak atau kebebasan orang lain yang terganggu oleh adanya pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dimaksud. Demikian pula tidak ada norma-norma moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis yang terganggu oleh adanya fakta bahwa pekerja/buruh dalam satu perusahaan memiliki pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan.

Dengan demikian, setelah keluarnya putusan MK tersebut, sesama pekerja yang bekerja dalam satu perusahaan yang ingin melangsungkan perkawinan tidak lagi terhalang oleh ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dan terhadap pengusaha tidak dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerjanya yang ingin melangsungkan perkawinan. (Irv)