Pendayagunaan Zakat Profesi Untuk Kepentingan Produktif
Arfan Adha Lubis, SH, MH.

Pendayagunaan Zakat Profesi Untuk Kepentingan Produktif

Oleh: Arfan Adha Lubis, SH, MH.*

Islam sebagai agama wahyu, telah menetapkan berbagai kewajiban kepada umatnya dengan tujuan untuk kesempurnaan dan kesejahteraan hidup. Diantara kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah ialah membayar zakat bagi orang memiliki kekayaan dan telah sampai senisab. Zakat selain memiliki dimensi  ritual religius, juga memiliki dimensi soaial religius, sebab dapat disalurkan untuk kepentingan sosial sesuai dengan ketentuan Allah dalam surat At-Taubah ayat 60 “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’alaf yang dibujuk karimnya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah maha Bijaksana”.

Dengan demikian, ritual religius dan sosial religius merupakan dua konsep yang berbeda namun harus diaplikasikan secara integral tidak parsial. Jika dicermati dari fakta sejarah dan dalil-dalil baik Al-Qur’an maupun al-Hadits, jenis yang wajib dizakati oleh seseorang sudah cukup jelas dan langsung dicontohkan dimasa Rasul dan sesudahnya.

Dewasa ini telah muncul berbagai usaha yang hasilnya lebih banyak daripada hasil pertanian yang telah ditetapkan zakatnya pada masa lalu. Misalnya, hasil usaha seorang dokter spesialis, kontraktor, konsultan, pejabat pemerintah seperti Gubernur, Bupati dan sebagainya.

Jika pendekatan yang digunakan polanya tektualis maka kesimpulan hasil usaha mendatangkan keuntungan banyak tidak wajib zakat, sebab tidak dijumpai nasnya dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Akan tetapi jika pendekatan digunakan kontekstualis, maka semua penghasilan yang diperoleh melalui keahlian tertentu wajib zakat.

Dari aspek lain, pendayagunaan zakat harta selama ini tampaknya bersifat konsultif dan tidak produktif. Misalnya, diberikan kepada fakir miskin, amil, orang yang baru masuk Islam, memerdekakan hamba sahaya dan sebagainya.

 

Pengertian Zakat Profesi

Profesi berasal dari bahasa Inggris yaitu profesional yang artinya pandai atau cakap (K. Adi Gunawan, hal: 308).

Prof. Dr. Yusuf Qardhawi mengatakan, bahwa pekerjaan yang dapat menghasilkan uang ada dua, yaitu: pertama, pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung pada orang lain berkat adanya kecekatan tangan atau pemikiran seperti hasil yang diperoleh seorang advokat, insinyur, dokter, akuntan dan lain-lain. Kedua, pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang buat orang lain atau pemerintah, baik melalui tangan atau pemikiran dan atas pekerjaan itu seseorang mendapatkan upah atau gaji (Yusuf Qardhawi, 1999. Fiqh az-Zakat, terjemahan Salman Harun dan kawan-kawan, 1999: 507-508).

Muhammadiyah tampaknya telah merumuskan pengertian zakat profesi sebagai berikut yaitu “Segala usaha yang halal dan dapat mendatangkan hasil (uang) dan relatif banyak dengan cara mudah, baik melalui suatu keahlian tertentu atau tidak” (Tanfidz keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah XXI: 1990: 17).

Selanjutnya dijelaskan bentuk-bentuk usaha dimaksud ada yang berbentuk usaha fisik seperti tunjangan jabatan dan modal usaha seperti investasi.

Hasil profesi ada yang bersifat teratur dan pasti setiap bulan seperti penghasilan pegawai negeri atau upah kerja lainnya, kadang-kadang hasil profesi tidak teratur dan tidak tetap sifatnya temporal atau eksidental seperti hasil seorang kontraktor atau royalti pengarang buku.

 

Hukum Zakat Profesi

Para ulama yang tektualis berkesimpulan zakat profesi hukumnya tidak wajib, sebab tidak ada nashnya dan tidak dilakukan dimasa Rasul maupun sesudahnya. Namun demikian, mayoritas ulama kontemporer termasuk Prof. Dr. Yusuf Qardhawi dan ulama Muhammadiyah menyatakan hukum zakat profesi wajib seperti dan diatur dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 267, at-Taubah ayat 34 dan ayat 103.

 

Nisab dan Kadar Zakat Profesi

Menurut Prof. Dr. Yusuf Qardhawi zakat profesi diqiyaskan kepada zakat perdagangan dengan nisab 94 gram emas murni, kadarnya 2,5%.

Muhammad al-Ghazali mengatakan bahwa zakat profesi diqiyaskan kepada zakat pertanian dengan nisab padi dan kadarnya 5% atau 10%. Keputusan Munas Tarjih ke-25 yang berlangsung tanggal 5-7 Juli 2000 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta. Zakat profesi hukumnya wajib, nisabnya 85 gram emas murni dan kadar 2,5%.

Namun demikian, ada keputusan yang tidak tegas, sebab dinyatakan bahwa zakat profesi kadarnya 2,5% baik dengan maupun tanpa dikurangi kebutuhan pokok secara ma’ruf, dihitung hasilnya atau tidak dihitung. Dari aspek lainnya, juga ada yang tidak jelas, yaitu tempat mengqiyaskannya apakah diqiyaskan kepada pedagang atau emas, atau barang tambang.

Tampaknya zakat profesi relevan diqiyaskan kepada perdagangan dengan persamaan alat hukum yaitu sama-sama berdasarkan modal dan sama-sama mencari keuntungan.

Seorang profesional harus terlebih dahulu memiliki keterampilan tertentu dan hal ini memerlukan modal yaitu biaya yang cukup besar. Misalnya dokter spesialis yang harus terlebih dahulu mengambil keahlian dan perlu banyak modal atau biaya, demikian juga seorang konsultan dan lainnya. Sesudah seseorang memiliki modal untuk menjadi profesional, barulah ia mendapatkan keuntungan dari profesinya.

Jika tempat mengqiyaskannya (asal) adalah perdagangan, maka segala yang berlaku dalam dagang berlakulah untuk zakat profesi. Artinya, jika nisab perdagangan 85 gram emas murni, kadar 2,5% dan memakai haul, maka ketentuan yang berlaku pada zakat profesi juga harus konsisten demikian.

Dengan demikian, nisab zakat profesi 85 gram emas murni, kadarnya 2,5% dan hasilnya 1 tahun. Harta yang wajib dizakati adalah hasil bersih setelah dikeluarkan keperluan pokoknya seperti membayar gaji karyawan dan keperluan administrasi lainnya.

 

Perdagangan Zakat untuk Kepentingan Produktif

Orang-orang yang berhak menerima zakat telah dinyatakan Allah dalam Surat at-Taubah ayat 60 yang artinya zakat itu hanya boleh diberikan kepada: 1) Fakir, 2) Miskin, 3) Amil atau pengelola zakat, 4) Muallaf (orang yang baru masuk Islam), 5) Untuk memerdekakan hamba sahaya, 6) Gharim atau orang yang berhutang, 7) Sabilillah (untuk kepentingan agama Allah), 8) Ibn Sabil (orang yang musafir dan kehabisan belanja).

Pada poin ke-7 dinyatakan bahwa zakat itu berhak diberikan untuk sabilillah. Dalam tafsir Ibn Katsir dinyatakan bahwa sabilillah itu contohnya seperti qhazwah atau peperangan.

Menurut riwayat Imam Ahmad dikatakan bahwa haji termasuk Sabilillah. Dalam tafsir at-Tabari yang dinyatakan bahwa sabilillah itu pengertiannya adalah “segala keperluan untuk memperjuangkan agama Allah yang dimasyarakatkan kepada umat manusia seperti berperang melawan orang kafir” (Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah. Jilid I, dar al-Fikr, tanpa tahun, hal 283).

Dalam penjelasan lain ditemukan bahwa sabilillah maknanya perang atau segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah (Muhammad Makhluf, Tafsir Kalimat Al-Qur’anul al-Karim, 1994: 196).

Jika dicermati secara inten, sesungguhnya menuntut ilmu merupakan investasi bukan kos atau pengeluaran rutin dan ini sebenarnya sudah termasuk pemberian zakat dalam bentuk produktif. Dengan kata lain, pemberian zakat dalam bentuk produktif dapat dibenarkan. Sebab tujuan utama zakat diberikan adalah untuk pengentasan kemiskinan.

Ajaran Islam sangat menyukai seseorang menggunakan segala upaya untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Bahkan Allah telah memberi otoritas kepada umat manusia untuk melakukan perubahan yang positif seperti dinyatakan dalam surat ‘ar-Ra’du ayat 11.

Dalam surat an-Nisa ayat 2, Allah melarang untuk mengganti harta anak yatim yang baik dengan yang buruk, “dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harga mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) ini, adalah dosa yang besar”.

Menurut Ibn Jarir, seseorang yang mengambil kambing anak yatim yang gemuk dan menukarnya dengan kambing yang kurus adalah merampas harta mereka. Tegasnya, ayat ini melarang untuk merugikan anak yatim dan segala sesuatu yang menguntungkan mereka tentunya tidak dilarang. Penggunaan zakat dalam bentuk produktif esensinya adalah untuk mengangkat derajat miskin menjadi kaya, sehingga ia berubah dari penerima zakat menjadi pemberi zakat.

 

Penutup

Dari uraian-uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa zakat merupakan kewajiban bagi setiap umat Islam dan jenis-jenis zakat dimasa Rasul merupakan control kongkrit sesuai dengan kondisi objektif diwaktu itu.

Zakat profesi hukumnya wajib berdasarkan dalil-dalil naqli dan aqli. Qiyasnya pada harta perniagaan (tijarah) dengan nisab 85 gram emas murni. Kadarnya 2,5% dan menggunakan hasil 1 tahun

Pemberdayaan dapat dilakukan diakhir tahun atau dibayar setiap bulan atau setiap hari. Zakat profesi dapat digunakan untuk kepentingan yang produktif sesuai dengan dalil-dalil nash Al-Qur’an dan Hadits.

 

*Penulis adalah Alumni FH UMSU & PMIH UMSU, Penulis tetap di litigasi.co.id