Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Pencucian Uang
@ilustrasi

Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Pencucian Uang

Litigasi - Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau dikenal dengan istilah “money laundering”, merupakan proses dengan mana aset-aset pelaku kejahatan, terutama aset tunai yang diperoleh dari suatu tindak pidana, dimanipulasi sedemikian rupa sehingga aset-aset tersebut seolah-olah berasal dari sumber yang sah. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2003 sebagaimana telah dirubah dengan UU  No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang dimaksud dengan Pencucian Uang adalah, “perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah”. Dengan demikian perolehan sumber dana yang dapat dikatakan ilegal dan dilarang oleh negara melalui peraturan perundang-undangan dapat diubah seolah-olah menjadi legal.

ads

Pada dasarnya proses tindak pidana pencucian uang dilakukan melalui beberapa tahapan, diantaranya seperti tahap penempatan (placement stage), yaitu upaya  menempatkan uang/dana dari hasil tindak pidana kedalam sistem keuangan seperti Bank, Kemudian tahap penyebaran/transfer (layering stage), yaitu memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya melalui beberapa tahap transaksi keuangan dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul dana. Hal ini biasa dilakukan dengan melakukan tansfer dana dari satu bank ke bank lain. Dan terakhir tahap pengumpulan/menggunakan harta kekayaan (Integration stage), yaitu upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik dinikmati langsung maupun diinvestasikan kedalam berbagai bentuk kekayaan.

Dibentuknya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, merupakan keseriusan Negara Indonesia untuk memberantas permasalahan tindak pidana pencucian uang.

Sistem pembuktian terbalik yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan implementasi dari tujuan diberlakukannya undang-undang tindak pidana pencucian uang. salah satunya adalah pembuktian terbalik yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya dalam Pasal 77 dan Pasal 78.

Pasal 77, menyatakan: “untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil dari tindak pidana”.

Pasal 78 juga mempertegas kembali “dalam pemeriksaan disidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1)”

ads

Pembuktian  terbalik yang diatur dalam Pasal 77 dan Pasal 78 mempunyai kekhususan tersendiri, yaitu maksud pembuktian terbalik adalah beban pembuktian yang  dibebankan kepada terdakwa. Pada tindak pidana pencucian uang yang harus dibuktikan adalah asal usul harta kekayaan yang bukan merupakan hasil dari tindak pidana, misalnya bukan dari korupsi, narkotika serta perbuatan haram lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Ketentuan ini dikenal dengan asas pembuktian terbalik, dimana sifatnya sangat terbatas, yaitu hanya berlaku pada sidang di pengadilan saja.

Prof. Andi hamzah, mengatakan Konsekuensi yuridis apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana, tidak berarti perbuatan yang  didakwakan kepada terdakwa terbukti melakukan tindak pidana. Hal ini hanya berlaku untuk salah satu unsur mengenai asal usul harta kekayaannya. Oleh karenannya pembuktian keseluruhan unsur tindak pidana seperti menempatkan, mentransfer, membayarkan, atau membelanjakan, menghibahkan, menukarkan  atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan masih harus dibuktikan oleh jaksa penuntut umum.

Pembuktian terbalik yang dibebankan kepada tersangka atau terdakwa menimbulkan anggapan dan persepsi atas penyimpangan asas praduga tak bersalah dan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dimana adanya proses perpindahan beban pembuktian dalam KUHAP yakni jaksa secara umum memiliki kewajiban untuk membuktikan namun dibebankan kepada pelaku tindak pidana.

Penerapan pembalikan beban pembuktian pada UU No. 8 tahun 2010 bersifat keharusan bagi terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Meskipun kejahatan pencucian uang ini lahir dari kejahatan asalnya, namun rezim anti pencucian uang menempatkan pencucian uang sebagai salah satu kejahatan yang tidak bergantung kepada kejahatan asalnya dalam hal akan dilakukan proses penyidikan.

Dengan demikian sistem pembuktian terbalik yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Terdakwa diwajibkan membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait bukan merupakan hasil tindak pidana, namun jaksa tetap juga diberikan beban untuk membuktikan unsur kesalahan terdakwa. Oleh sebab itu dalam sistem pembalikan beban pembuktian juga menganut sistem pembuktian  secara tidak murni (pembalikan beban pembuktian terbatas dan berimbang) dan sistem pembuktian negatif dalam KUHAP. (Irv)