Pembaharuan Paradigma Penegakan Hukum Pidana Oleh Kepolisian

Pembaharuan Paradigma Penegakan Hukum Pidana Oleh Kepolisian

Penulis - Dr. Tengku Erwinsyahbana, SH., MHum.*

"Dari Pendekatan Restoratif Menuju Pendekatan Persuasif"

Kewenangan aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) dalam penegakan hukum pidana adalah berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu (intregated criminal justice system), dan selain itu dikenal pula kewenangan secara “diferensiasi fungsional”, karena secara struktur kelembagaan, maka penegakan hukum pidana dari hulu ke hilir dilaksanakan secara terpisah dan berdiri sendiri berdasarkan kewenangan yang dimiliki pada masing-masing lembaga.

Sehubungan dengan kewenangan penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana terpadu, maka terlebih dahulu diawali kewenangan aparat kepolisian, yang didasarkan pada Pasal 16 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU No. 2 Tahun 2002), antara lain kewenangan untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab, yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat: (1) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; (2) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; (3) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; (4) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan (5) menghormati hak asasi manusia.

Baca juga; Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak

Perlu pula diperhatikan Pasal 18 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002, yang menentukan bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Menurut Momo Kelana (2002: 111-112), dikatakan bahwa Pasal 18 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002, merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum kepolisian (plichtmatigheids beginsel), yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada aparat kepolisian untuk bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun berdasarkan penilaian pribadi sendiri dalam rangka kewajibannya menjaga, memelihara ketertiban dan menjaga keamanan umum. Kewenangan demikian dikenal dengan istilah “diskresi kepolisian”, yang keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk menjalankan tugas kewajibannya, dan hal ini tergantung pada kemampuan subjektifnya sebagai petugas. Menurut kamus umum yang disusun Echols sebagaimana dikutip Bilher Hutahaean, dijelaskan bahwa “diskresi” berasal dari Bahasa Inggris “discretion” yang diartikan sebagai kebijaksanaan, keleluasaan, sedangkan menurut Burrow “discretion” adalah “ability to choose wisely or tu judge for oneself”, artinya kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri (Bilher Hutahaean, 2012: 215).

Sehubungan dengan kewenangan yang diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002, maka dalam hal penegakan hukum pidana, ada celah bagi aparat kepolisian untuk memperbaiki sistem penegakan hukum, maksudnya bahwa dalam penanganan perkara pidana, aparat kepolisian tidak selalu harus mengandalkan pendekatan “retrebutif-represif”, melainkan dengan pendekatan yang lebih ditujukan kepada terciptanya keadilan, kedamaian dan perbaikan kerusakan (jadi tidak sekedar menciptakan kepastian hukum), atau sekarang lazim dikenal dengan penegakan hukum yang mengedepankan “pendekatan keadilan restoratif”.

Baca juga; Kekayaan Yayasan Menurut UU Yayasan

Menurut Tony Marshall, sebagaimana dikutip Taufik Hidayat (2005: 26) disebutkan bahwa keadilan restoratif adalah proses yang melibatkan semua pihak pada kejahatan, khususnya untuk memecahkan secara bersama-sama dan mengatasi akibat dari suatu kejahatan dan implikasinya di masa mendatang, sedangkan Kelompok Kerja PBB, sebagaimana dikutip Rena Yulia Nuryani (2009: 19), menyebutkan bahwa keadilan restoratif sebagai suatu proses yang melibatkan semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu, bersama-sama memecahkan masalah dan memikirkan cara menangani akibat di masa yang akan datang.

Pendekatan keadilan restoratif merupakan cara penanganan perkara pidana yang melihat kejahatan sebagai penyebab terjadinya kerugian pada seseorang dan masyarakat, sehingga dalam perspektif keadilan, pelakunya harus memperbaiki kerugian tersebut. Para pihak yang terlibat (terutama korban dan pelakunya) berpartisipasi dalam proses penyelesaiannya, dan dalam program keadilan restoratif dimungkinkannya korban, pelaku dan pihak lain yang terkena dampak untuk terlibat secara langsung dalam menanggapi kejahatan, sedangkan aparat kepolisian secara profesional berfungsi sebagai fasilitator atau sebagai bagian dari sistem untuk meminta pertanggungjawaban pelaku, reparasi kepada korban dan partisipasi penuh oleh korban, pelaku dan masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan keadilan restoratif adalah pendekatan penegakan hukum yang lebih menekankan perbaikan kerugian yang ditimbulkan perilaku tindak pidana melalui proses kooperatif dengan melibatkan semua stakeholder (pelaku, korban, masyarakat dan aparat kepolisian).

Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif lebih mengupayakan perdamaian. Istilah perdamaian menurut Barda Nawawi Arief (2010: 1-2), diartikan sebagai mediasi penal (penal meniation). Mediasi ini sering disebut dengan “mediation in criminal cases” atau “mediation in penal matters” yang dalam istilah Bahasa Belanda disebut “strafbemiddeling”. Mediasi penal digunakan untuk mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah “victim offender mendiation” atau “offender victim arrangement” (Yuarsi Susi Eja, 2002: 87).

Persoalan yang perlu diperhatikan adalah terkait peran aparat kepolisian dalam penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif, yang di dalam KUHAP sama sekali tidak ditemukan dasar hukumnya. Terkait hal ini, Barda Nawawi (1991) pernah mengatakan bahwa peranan aparat penegakan hukum khususnya Polri dalam penegakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan fungsionalisasi hukum pidana. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretitasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum (Barda Nawawi,1994: 157).

Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk mem-buat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata, yang di dalamnya terdapat tigatahapan kebijakan yaitu: (1) tahap kebijakan formulatif sebagai suatu tahap perumusan hukum pidana oleh pihak pembuat perundang-undangan; (2) tahap kebijakan aplikatif sebagai tahap penerapan hukum pidana oleh penegak hukum; dan (3) tahap kebijakan administratif, yaitu tahapan pelaksanaan oleh aparat eksekusi hukum (Barda Nawawi Arief, 1998: 30), dengan demikian pada tahapan kebijakan aplikatif ini aparat kepolisian dapat melaksanakan penanganan perkara pidana melalui pendekatan keadilan restoratif, yang tujuannya agar hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata.

Baca juga; Melawan Hukum Menurut Hukum Pidana

Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif dan mediasi penal tidak sama, walaupun antara keduanya sulit dibedakan, karena peran aparat kepolisian dalam penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif hanya sebagai fasilitator, tidak sebagai mediator, sedangkan dalam mediasi penal aparat kepolisian seharusnyadapat berperan sebagai mediator.Fasilitator dan mediator tentunya juga tidak dapat disamakan, karena menurut Denny Boy Mochran (2014), dikatakan bahwa fasilitator adalah seseorang yang membantu sekelompok orang untuk memahami tujuan/capaian bersama dan membantu untuk merencanakan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tanpa mempunyai kepentingan khusus dalam proses diskusi, dan tugas utama fasilitator adalah membantu semua orang untuk dapat mengeluarkan pendapat, pikiran dan melakukan yang terbaik dalam suatu pertemuan atau diskusi, sedangkan pengertian mediator berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016, adalah hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Sesuai pengertian yang disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa seorang mediator tentunya harus memiliki sertifikat mediator, sehingga jika aparat kepolisian diposisikan sebagai mediator dalam penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif, maka sudah selayaknya pula aparat kepolisian tersebut memiliki sertifikat sebagai mediator. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa mediasi penal tidak dapat disamakan dengan penegakan hukum pidana melalui pendekatan keadilan restoratif, sehingga aparat kepolisian tidak dapat pula disebut sebagai mediator, melainkan hanya sebagai fasilitator. Apabila aparat kepolisian diperankan sebagai mediator dalam penanganan perkara pidana (dengan pendekatan keadilan restoratif atau sebutan lain adalah mediasi penal), maka aparat kepolisian tersebut harus menguasi tehnik mediasi, yang antara lain mampu berkomunikasi secara persuasif.

Istilah persuasif bersumber dari Bahasa Latin yaitu: “persuasion”, yang berarti membujuk, mengajak atau merayu. Persuasif dapat dilakukan secara rasional dan secara emosional, biasanya menyentuh aspek afeksi, yaitu hal yang berkaitan dengan kehidupan emosional. Melalui cara emosional, aspek simpati dan empati seseorang dapat digugah (Herdiyan Maulana dan Gumgum Gumelar, 2013: 7). Sesuai dengan pengertian ini, maka komunikasi persuasif dapat diartikan sebagai bentuk komunikasi, yang bertujuan untuk mempengaruhi orang yang diajak berkomunikasi, dengan cara membujuk, mengajak atau merayunya, sehingga orang tersebut menjadi simpati dan empati terhadap hal-hal yang dibicarakan. Dalam hubungannya dengan komunikasi secara persuasif ini, maka aparat kepolisian yang berperan sebagai mediator dalam penanganan perkara pidana, harus mampu berkomunikasi dengan baik, sehingga para stakeholderyang terlibat, dapat menjadi simpatik dan empati terhadap hal-hal disampaikan dalam upaya penyelesaian perkara pidana dengan lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan, dan oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa jika aparat kepolisian diposisikan sebagai mediator, maka perlu pula ada pengembangan konsep penegakan hukum pidana dengan pendekatan keadilan restoratif menuju konsep penegakan hukum pidana dengan pendekatan keadilan persuasif. 

* Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, dan Ketua Umum Pusat Studi Konstitusi dan Perundang-undangan “ATRYNAMS”