Menilai Delik Materil Dengan Teori Sebab Akibat (Kausalitas)
@ilustrasi

Menilai Delik Materil Dengan Teori Sebab Akibat (Kausalitas)

Litigasi - Pada pembahasan terdahulu di judul Kejahatan Menghasut Dalam KUHP  telah disampaikan pengertian delik materil menurut pendapat Lamintang, untuk melengkapi penjelasan ini maka disampaikan pendapat pakar hukum pidana Eddy OS Hiariejdalam bukunya berjudul “Prinsip-Prinsip Hukum Pidana”halaman 103 menegaskan bahwa;

Agar mudah difahami, dapatlah dikatakan bahwa “delik formil” adalah delik yang menitikberatkan pada tindakan, sedangkan “delik materil” adalah delik yang menitikberatkan pada akibat.

Contohnya dalam delik pembunuhan, untuk dikatakan sebagai delik pembunuhan maka kekerasan harus menimbulkan akibat berupa menghilangkan nyawa orang lain. Timbulnya akibat itu harus ada dan terbukti sehingga pasal tentang pembunuhan dapat diterapkan.

ads

Demikian pula dalam Pasal 160 KUHP tentang penghasutan yang oleh MK telah dinyatakan sebagai delik materil maka penghasutan harus menimbulkan akibat diantaranya berupa orang yang dihasut terbukti melakukan tindak pidana, atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, atau tidak menuruti ketentuan undang-undang atau perintah jabatan yang diberikan berdasarkan undang-undang.

Untuk menilai sebab dan akibat maka mau tidak mau harus memakai pedoman “teori sebab akibat”atau “teori kausalitas”. Tentunya tidak sembarangan menentukan “sebab”, tidak dapat seluruh perbuatan atau keadaan dapat dijadikan sebab. Beberapa teori yang dikemukakan oleh ahli hukum pidana dapat dijadikan panduan ataupun ukuran.

Pendapat ahli hukum Von Kries yang dikenal dengan “teori adaequaat”,arti “adaequaat” adalah sebanding, seimbang, sepadan. Jadi dikaitkan dengan delik, maka perbuatan harus sepadan, seimbang atau sebanding dengan akibat yang sebelumnya dapat diketahui, setidak-tidaknya dapat diramalkan dengan pasti oleh pembuat. Teori Von Kries dapat juga disebut sebagai teori generalisasi yang subyektif adaequaat, oleh karena menurut Von Kries yang menjadi sebab dari rangkaian faktor-faktor yang berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab saja yang dapat diterima yaitu yang sebelumnya telah dapat diketahui oleh si pembuat.

Kemudianm mengutip dari buku berjudul “Asas-asas Hukum Pidana (edisi revisi 2008)”dikarang oleh Andi Hamzah, bahwa ajaran Rumeling menyatakan bahwa yang menjadi sebab akibat adalah faktor obyektif yang diramalkan dari rangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik setelah delik itu terjadi. Tetapi perlu diingat bahwa tolok ukur teori ini bukan ramalan tetapi keharusan adanya akibat. Jadi akibat itu walau bagaimanapun harus tetap terjadi dengan cara mengingat keadaan-keadaan obyektif yang ada pada saat sesudah terjadinya delik. Tolok ukur tersebut merupakan logika yang dicapai menurut pengetahuan alam yang obyektif.

Selanjutnya menurut Von Buri dengan ajaran “conditio von qua non” yang artinya “syarat mutlak”. Ajaran ini kemudian disebut juga “conditio sine qua non” artinya “tiap perbuatan adalah sebab dari akibat”. Dikenal juga dengan teori “theorie equivalentie = semua syarat bernilai sama”. Ajaran ini tidak dapat dipakai dalam lapangan hukum pidana karena tidak ada batasan perbuatan mana yang dijadikan syarat dari akibat, jadi terlalu luas.

ads

Sedangkan menurut pendapat Traeger, ia mengadakan perbedaan antara rangkaian perbuatan-perbuatan dan diantaranya perbuatan-perbuatan itu harus dicari yang manakah yang menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Traegermenyatakan hanya satu masalah saja yang harus dianggap sebagai sebab daripada akibat. Para penganut ajaran Traegerdalam mencari satu perbuatan guna ditentukan sebagai sebab dari akibat yang timbul, mempergunakan dua jenis cara yaitu:

a. Individualiserende theorie

Cara mencari sebab ialah setelah akibatnya timbul, yaitu dengan mencari keadaan yang nyata, in concreto. Dari rangkaian perbuatan-perbuatan masalah dipilih satu perbuatan yang dapat dianggap sebagai sebab daripada akibat. Jadi, ajaran ini mencarinya in concreto.

b. Generaliserende theorie

Ajaran ini menentukan sebab daripada akibat yang timbul dengan mencari ukuran dengan perhitungan “pada umumnya”, yang berarti bahwa ukuran itu ditentukan in abstracto. Jadi, setelah sesuatu akibat timbul, dicari sebab dari rangkaian perbuatan-perbuatan itu yang menimbulkan perhitungan didasarkan pada kelayakan (in het algemene, volgene denormale loop der dingen).

ads

Brickmayersetuju dengan teori tersebut. Teorinya “de meets werkzame faktor-nya” ia menganut Individualiserende theorie. Menurutnya yang harus dianggap sebagai sebab daripada akibat adalah “delunst werkzame factor” (faktor yang paling utama) yaitu: perbuatan yang mempunyai pengaruh terbesar terhadap timbulnya akibat (die de greet sta inylood beeftop het tot stand komen van het gevolg).

Binding dan Kohle, keduanya juga hanya mencari satu perbuatan sebagai sebab daripada akibat yang timbul, yaitu perbuatan yang terpenting, yang seimbang dengan akibat yang ditimbulkan. Sebagaimana dikutip dari buku berjudul “Hukum Pidana Kumpulan Kuliah”oleh “Prof. Satochid Kartanegara SH”.

Dari teori-teori yang diajarkan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa parameter untuk menyatakan suatu perbuatan atau perbuatan-perbuatan sehingga dikatakan sebagai sebab yakni dinilai dari keseimbangan, sepadan, perbuatan yang paling utama dan berpengaruh, perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, atau faktor-faktor objektif yang dinyata-nyata menimbulkan suatu akibat (red).