Menentukan Kewenangan Relatif Peradilan Pidana

Menentukan Kewenangan Relatif Peradilan Pidana

Kewenangan pengadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara sesuai dengan jenis dan tingkatan pengadilan berlandaskan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Landasan menentukan kewenangan mengadili setiap Pengadilan Negeri ditinjau dari segi kompetensi relatif, diatur di dalam bagian Kedua Bab X yang terdiri dari Pasal 84, 85 dan Pasal 86 KUHAP. Bertitik tolak dari ketentuan yang dirumuskan dalam ke-3 Pasal tersebut diatur kriteria menentukan kewenanga pengadilan mengadili perkara pidana.

·      Tempat Tindak Pidana Dilakukan

Inilah kriteria yang pertama dan utama. Pengadilan Negeri berwenang mengadili setiap perkara pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 84 ayat (1) KUHAP berbunyi:

Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.

Kriteria yang diatur di dalam Pasal 84 ayat (1) berkaitan dengan “tempat tindak pidana dilakukan” atau disebut Locus delicti, berkaitan dengan wilayah kerja atau wilayah hukum pengadilan yang menjadi kewenangannya, atau disebut dengan kewenangan relatif. Misalnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memiliki lingkup kerja di wilayah Jakarta Selatan, Jadi tindak pidana yang terjadi di Jakarta Selatan menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengadilinya.

·      Tempat Tinggal Terdakwa dan Tempat kediaman Sebagian Besar Saksi yang Dipanggil

Asas kedua menentukan kewenangan Pengadilan Negeri berdasar tempat tinggal sebagian besar saksi. Hal ini diatur dalam Pasal 84 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:

Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam diri, di tempat ia ditemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu dari pada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.

Pelaksanaan  Pasal 84 ayat (2) mengenai kewenangan mengadili berkaitan dengan “tempat tinggal” sekaligus mengenyampingkan asas Locus delicti dalam Pasal 84 ayat (1). Penerapan asas tempat kediaman menurut  M. Yahya Harahap  dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut  :

  1. Apabila terdakwa bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri dimana sebagian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal.
  2. Tempat kediaman terakhir terdakwa. Terdakwa berkediaman terakhir di daerah hukum suatu Pengadilan Negeri dan sebagian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri tersebut.
  3. Ditempat terdakwa ditemukan. Di mana terdakwa diketemukan di suatu daerah hukum Pengadilan Negeri serta saksi-saksi yang hendak dipanggil kebanyakan bertempat tinggal atau lebih dekat dengan Pengadilan Negeri tempat di mana terdakwa diketemukan.
  4. Di tempat terdakwa ditahan. Tempat penahanan terdakwa serta saksi-saksi yang hendak diperiksa sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat ke Pengadilan Negeri tempat di mana terdakwa ditahan.

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak selamanya Locus delicti bersifat menentukan. Memang benar asas utama menentukan kewenangan relatif mengadili suatu perkara, dititikberatkan kepada Locus delicti. Akan tetapi asas Locus delicti dapat dikesampingkan oleh tempat tinggal, tempat kediaman terakhir, tempat ditemukan terdakwa atau tempat terdakwa ditahan. Dengan catatan dipenuhinya syarat bahwa saksi-saksi yang akan dipanggil sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat dengan Pengadilan Negeri tempat di mana terdakwa bertempat tinggal.