Lockdown, PSBB & Darurat Sipil
Arfan Adha Lubis, SH., MH

Lockdown, PSBB & Darurat Sipil

Oleh; Arfan Adha Lubis, SH., MH.*

Ditengah situasi genting saat ini, dimana virus corona semakin mengerikan melanda seluruh wilayah Indonesia, langkah tegas harus segera diambil Presiden Jokowi. Baik memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sudah diterapkan Presiden Jokowi, atau melakukan karantina wilayah yang dikenal dengan lockdown, untuk memutus mata rantai penularan Covid-19. Presiden Jokowi lebih memilih opsi PSBB dan social distancing (Pembatasan Sosial) dalam menekan penyebaran Covid-19. Jokowi dengan tegas mengatakan tidak menempuh jalur lockdown, disebabkan beberapa negara gagal menerapkan kebijakan lockdown, seperti Italia dan India. Dikabarkan pula apabila PSBB gagal, maka Presiden Jokowi berinisiatif memberlakukan kebijakan Darurat Sipil.

UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, mengatur beberapa bentuk atau model karantina. Hal ini dilihat Pasal 1 Angka 8, 9, 10, dan 11 UU No. 6 Tahun 2018, dari Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, Karantina Wilayah, plus PSBB.

Pasal 1 Angka (10) UU No.6 Tahun 2018, berbunyi; "Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah Pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi edemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi”. Sedangkan PSBB adalah ”pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.” ( Vide Pasal 1 Angka (11) UU No. 6 Tahun 2018).

Karantina Wilayah plus PSBB memang merupakan domain atau ranahnya Pemerintah Pusat dan langsung berada dibawah kendali Presiden. Hal ini dilihat ketentuan Pasal 49 Ayat (3) UU No.6 Tahun 2018 berbunyi ”Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.” Tetapi disisi lain perlu dipahami, situasi sekarang adalah emergency dari bahaya pandemi Virus Covid-19.

Pemberlakuan lockdown suatu hal krusial, karena sekali lagi bersifat mendesak menyangkut nyawa manusia. Setiap daerah mempunyai hak otonomi berdasarkan asas desentralisasi yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda yang merupakan revisi dari UU No. 32 Tahun 2004.

Sejatinya setiap Kepala Daerah tentu lebih mengetahui situasi dan kondisi daerahnya masing-masing. Untuk itu seyogyanya sifat egocentris dalam hal ini, sepatutnya dikesampingkan. Lebih urgen dipikirkan membangun koordinasi yang baik antara Pemerintah Pusat beserta Pemda dalam menangani virus Covid-19 yang semakin banyak mengambil korban dari rakyat tidak berdosa.   

Benar kata Tajuk Rencana Waspada edisi (Senin,30/3/2020, hal B6), yang bertajuk “Negara Wajib Pikul Beban”. Dalam tajuk rencana Waspada dikatakan kinerja elit politik dan pemerintahan dalam mengantisipasi musibah virus corona, kurang tegas, terkesan lambat, dan miskoordinasi sehingga penyebaran virus demikian cepat melanda daerah-daerah.

Pemberlakuan Karantina Wilayah (lockdown) lokal dilakukan beberapa daerah seperti  Tasik Malaya, Papua, dan Banda Aceh merupakan hal bersifat darurat plus tidak dapat menunggu lebih lama Peraturan Pemerintah (PP) mengenai karantina wilyah  maupun PSBB yang belum ada. Walaupun Presiden Jokowi menerapkan PSBB dan physical distancing, tetapi kenyataannya banyak daerah menerapkan haberbeda.

Banyak aspek memang harus dipertimbangkan apabila karantina wilayah diterapkan, dan tidak ingin mengalami kegagalan lockdown seperti dialami India dan Italia. India misalnya gagal menerapkan lockdown disebabkan beberapa faktor. Diakses dari Warta Ekonomi.co.id, Penyebab lockdown di India gagal adalah, 1) Banyaknya pekerja di sektor informal, 2) Tak didukungnya kebutuhan hidup masyarakat marjinal (kelas bawah), 3) Ketersediaan tempat tidur yang rendah di rumah sakit, 4) Tingkat tes corona yang rendah.

Melihat faktor kegagalan lockdown di India,hampir sama dengan 7 syarat yang harus diperhatikan dan dipenuhi daerah untuk melakukan lockdown. Pasal 49 Ayat (2) UU No. 6 Tahun 2018 berbunyi ”Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.”   

Menilik bunyi Pasal 49 Ayat (2) UU Kekarantinan Kesehatan, ada 7 syarat harus dipenuhi daerah dalam melakukan karantina wilayah, yaitu, pertimbangan aspek epidemiologis, besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, plus pertimbangan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.

 

Lockdown, PSBB & Darurat Sipil

UU Kekarantinaan Kesehatan memang tidak mengenal istilah lockdown, yang maknanya sama dengan karantina wilayah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka (10) UU No.6 Tahun 2018. Ada perbedaan prinsipal antara lockdown atau Karantina Wilyah dengan PSBB. Dikutip dari tirto.id, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menjelaskan, pada PSBB dengan atau tanpa tambahan status “darurat sipil”, tidak mewajibkan pemerintah memenuhi kebutuhan dasar rakyat. “Jika merujuk Pasal 59 UU Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah pusat lepas tangggungjawab untuk menjamin kebutuhan hidup masyarakat,” ujarnya. Pasal tersebut sama sekali tidak menyebut apa saja kewajiban pemerintah terhadap masyarakat yang ada dalam lingkup PSBB. Ini berbeda dengan karantina wilayah, yang diatur dalam Pasal 55. Pasal 55 tersebut tegas menyebut selama karantina wilyah, “kebutuhan dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.” Tanggung jawab ini melibatkan pemerintah daerah dan pihak terkait. (tirto.id).

Berkaitan dengan darurat sipil yang akan ditempuh Presiden Jokowi, apabila PSBB gagal, menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari, Presiden sebelum menerapkan darurat sipil, harus menyatakan dahulu negara dalam” keadaan bahaya” sebagaimana termaktub dalam Pasal 12 UUD 1945 (tirto.id).       

Pasal 12 UUD 1945 berbunyi ”Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.”

Berdasarkan Perppu No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, status keadaan bahaya itu diklasifikasikan kedalam tiga tingkatan, yakni dari darurat sipil, darurat militer, plus keadaan perang. Lebih lanjut menurut Feri, tiga poin diatas ditentukan tiga kondisi, yakni terkait keamanan dan ketertiban, perang, dan keadaan khusus. Masih menurut Feri, bencana alam dan wabah penyakit termasuk dalam keadaan khusus. Apabila wabah penyakit dianggap sudah membahayakan kehidupan bernegara, maka status keadaan bahaya sebagaimana Pasal 12 UUD 1945 bisa diterapkan (tirto.id)

 

Penutup

Data teraktual diakses dari KOMPAS.com (Kamis,2/4/2020),  jumlah korban kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah menjalar di 32 Provinsi, dengan perincian jumlah kasus positif Covid-19 sebanyak 1.677 kasus. Sembuh 103orang, dan meninggal 157 orang. Ini tidak sekedar jumlah angka, tetapi berkaitan dengan nyawa manusia. Perlu kebijakan yang berani, tegas plus paling relevan dalam menangani pandemi virus corona yang semakin cepat perkembangannya. Tetapi berkaitan dengan Penetapan Status Darurat Sipil, yang akan diterapkan Presiden Jokowi kalau PSBB gagal rasanya tidak perlu diterapkan. Sebagaimana pendapat sejumlah pakar, Presiden Jokowi sebaiknya konsisten saja menjalankan apa yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, seperti salah satunya dengan melakukan opsi lockdown (karantina wilayah). Karena hal itu terbukti memperlambat penularan virus. 

*Penulis adalah Dosen STMIK & AMIK LOGIKA Medan, Alumni FH-UMSU & PPs PMIH UMSU