Tata Cara Perubahan Atau Perbaikan Surat Gugatan
@ilustrasi

Tata Cara Perubahan Atau Perbaikan Surat Gugatan

Litigasi - Majelis hakim yang memeriksa perkara perdata, pada sidang pertama akan mempertanyakan kepada penggugat apakah surat gugatannya sudah benar? Jika benar maka sidang dilanjutkan, namun jika terdapat kesalahan dan penggugat ingin memperbaikinya maka hakim mengizinkannya. Kali ini anggap saja terdapat kesalahan di surat gugatan, lalu bagaimana ketentuan hukum acara perdata mengatur tata cara memperbaiki surat gugatan itu?

Memperbaiki atau merubah surat gugatan tidak dapat dilakukan sesuka penggugat, ketentuan yang dapat dipedomani kebanyakan bersumber dari yurisprudensi Mahkamah Agung, selain itu dapat dipedomani Pasal 127 Rv yang menyatakan: “Penggugat berhak untuk mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau menambah pokok gugatan.” 

ads

Yang perlu digarisbawahi adalah batasan yang diperbolehkan dilakukan perubahan atau perbaikan. Penggugat tidak boleh merubah atau menambah pokok gugatan, hal ini menjadi penting. Demikian pula tidak boleh sebagian besar dari isi surat gugatan dirubah atau diperbaiki, jika demikian lebih baik dilakukan pencabutan gugatan dan setelah disusun surat gugatan dengan baik dan benar maka didaftarkan kembali.

Larangan mengubah atau menambah pokok gugatan itu juga sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 454K/Sip/1970, tanggal 11 Maret 1971 menyatakan: “Perubahan surat gugatan perdata yang isinya tidak melampaui batas-batas materi pokok gugatan dan tidak akan merugikan tergugat dalam pembelaan atas gugatan penggugat tersebut, maka hakim boleh mengabulkan perubahan tersebut.”

Disamping itu, perubahan atau perbaikan gugatan tidak boleh bertentangan dengan asas hukum acara perdata dan tidak dapat menyimpang dengan kejadian yang sebenarnya sudah diterangkan sebelumnya. Jadi uraian fakta tidak dapat dirubah secara keseluruhan sehingga menggambarkan keragu-raguan atau ketidak konsistenan dari penggugat dalam menyusun surat gugatan.

Hal itu sebagaimana dimaksud di dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 209K/Sip/1970, tanggal 6 Maret 1971 yang menyatakan “Perubahan surat gugatan diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan asas hukum acara perdata yaitu sepanjang tidak bertentangan atau tidak menyimpang dari kejadian materiil yang diuraikan dalam surat gugatan penggugat tersebut.”

ads

Bahwa terkait perubahan gugatan, M. Yahya Harahap, SH., dalam bukunya berjudul: Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Penerbit Sinar Grafika Jakarta, pada Halaman 98 dan 100, menjelaskan pembatasan perubahan gugatan secara kasuistik berdasarkan peraktik peradilan, diantaranya sebagai berikut:

 

Tidak Boleh Mengubah Materi Pokok Perkara

Salah satu variabel yang merupakan sisi lain (derivative) dari istilah pokok perkara adalah istilah meteri pokok perkara. Jadi dilarang perubahan gugatan atau tuntutan yang menimbulkan akibat terjadinya perubahan materil pokok perkara. Penegasan ini terdapat dalam Putusan MA No. 547 K/Sip/1973 yang menyatakan: perubahan gugatan mengenai materi pokok perkara adalah perubahan pokok gugatan, oleh karenanya harus ditolak.

 

Tidak Mengubah Posita Gugatan

Dilarang dan tidak dibenarkan perubahan mengakibatkan perubahan posita gugatan. Larangan ini, dikemukakan dalam Putusan MA No. 1043 K/Sip/1971 yang menyatakan: “Yurisprudensi mengizinkan perubahan gugatan atau tambahan asal hal itu tidak mengakibatkan perubahan posita, dan pihak tergugat tidak dirugikan haknya untuk membela diri.”

Larangan yang sama dijumpai dalam catatan Putusan MA No. 943 K/Pdt/1985 yang menegaskan, bahwa “Sesuai yurisprudensi perubahan gugatan selama persidangan diperbolehkan asal tidak menyimpang dari posita, dan tidak menghambat pemeriksaan di sidang”. 

Namun perlu diingat, bahwa hak-hak tergugat harus diperhatikan dan tidak boleh diabaikan. Perubahan gugatan yang dilakukan setelah adanya jawaban tergugat maka harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tergugat, hakim tidak boleh mengabaikan tergugat. Jika tergugat tidak menyetujuinya maka hakim harus menolaknya. Hal itu sebgaimana dimaksud dalam yurisprudensi Putusan MA No. 447 K/Sip/1976 tertanggal 20 Oktober 1976 menyatakan: “Permohonan untuk mengadakan penambahan dalam gugatan pada saat pihak berperkara lawan telah menyampaikan jawabannya, tidak dapat dikabulkan apabila pihak berperkara lainnya tidak menyetujuinya” (Chaidir Ali SH., Yurisprudensi Hukum Acara Perdata, Jilid 1 penerbit Armico, Bandung, 1983 Halaman 195). (red)