Kepastian Hukum Perppu Pilkada
Mhd. Ansor Lubis, SH., MH

Kepastian Hukum Perppu Pilkada

Oleh; Mhd. Ansor Lubis, SH., MH.*

Masyarakat sangat mengapresiasi langkah Presiden Jokowi yang menerbitkan Perppu tentang Penundaan Pilkada serentak untuk memberikan kepastian terkait keberlanjutan tahapan pilkada pasca penundaan yang dilakukan KPU, Perppu ini sekaligus memberi legalitas atas penundaan pilkada serentak secara nasional yang telah diputuskan KPU pada 21 Maret 2020 lalu. Penundaan empat aktivitas tahapan yang dilakukan KPU menjadi abash melalui perubahan pasal 120 ayat (1).

ads

Produk hukum yang diterbitkan tersebut berbentuk Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-Undangan Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Dimana dalam Konsideran “Menimbang” huruf b menyebutkan “dalam rangka penanggulangan penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional perlu diambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah termasuk perlunya melakukan penundaan tahapan pelaksaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dengan wakil walikota serentak ditahun 2020 agar pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dengan wakil walikota tetap dapat berlangsung secara demokratis dan berkualitas serta untuk menjaga stabilitas politik dalam negeri”.

Konsideranlah yang menjadi sebab musabbab dikeluarkan nya Perppu tersebut demi menjamin demokrasi yang berintegritas terhadap pelaksanaan Pilkada serentak ditahun 2020 ini. tetapi dalam perpu tersebut juga kalau diamati masih menyimpan ketidakpastian hukum karena penjelasan pada Pasal 201A. Adapun bunyi Pasal 201A berbunyi “Dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam berakhir”.

Pemerintah dalam hal ini masih belum sepenuhnya yakin kan keputusannya melihat Pasal 201A terkait dengan situasi pandemi saat ini bisa saja pelaksanaan Pilkada serentak ini ditunda sampai dengan 2021 atau 2020 bahkan pemerintah meyerahkan skema nya kepada KPU, Pemerintah dan DPR.

Ketidakpastian juga terlihat terhadap Pertama, penundaan pilkada hanya dilakukan dalam kurun waktu tiga (3) bulan, hal itu menunjukkan pemerintah kurang serius dalam menjamin hak-hak konstitusional masyarakat ditengah pandemic covid-19. seharusnya tahapan pilkada sudah harus dimulai kembali enam (6) bulan sebelum pemungutan suara berlangsung, yakni pada bulan juni 2020 atau satu bulan dari kondisi pandemic covid-19 saat ini.

ads

Kedua, Jika pemungutan suara dilakukan pada Desember 2020 mendatang, maka KPU harus mulai menyiapkan tahapan pada Juni 2020. Artinya akan ada irisan dengan fase penanganan pandemi dan kebijakan PSBB di sejumlah daerah yang belum jelas kapan akan berakhirnya sehingga pelaksanakan tahapan yang beririsan dengan masa pandemi memerlukan dukungan dan disiplin ketat pada kepatuhan terhadap protokol kesehatan penanganan pandemi Covid-19. Dan hal itu mengandung risiko tersendiri bagi petugas pemilihan, calon peserta pemilihan, maupun masyarakat pemilih dan dianggap sebagai hal sangat beresiko,"

Ketiga, KPU harus mampu merumuskan berbagai peraturan teknis pilkada yang tidak bertentangan dengan protokol penanganan Covid-19, khususnya soal interaksi petugas dengan pemilih maupun peserta pemilihan. "Misalnya verifikasi faktual syarat dukungan bakal calon perseorangan, ceklis data pemilih, maupun kampanye, yang notabene mestinya sejalan dengan kebijakan jaga jarak untuk pencegahan penyebaran Covid-19

 

*Penulis adalah alumni Pascasarjana USU bidang Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dan Aktif sebagai Pemerhati Kebijakan Pemerintah, Serta Dosen Program Studi Ilmu Hukum UIN SU Medan dan aktif pada Law Firm Bambang Santoso & Partner.