Kedudukan Penyadapan Informasi Elektronik Sebagai Alat Bukti

Kedudukan Penyadapan Informasi Elektronik Sebagai Alat Bukti

Litigasi - Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah adalah [1] Keterangan saksi, [2] Keterangan ahli, [3] Surat, [4] Petunjuk dan [5] Keterangan terdakwa. Lantas dimana posisi "penyadapan (intersepsi)" sebagai "informasi elektronik" dapat dijadikan alat bukti dalam perkara pidana?  

Sepanjang ini, pengakuan "penyadapan (intersepsi)" sebagai alat bukti termaktub di dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 20/2001), ditegaskan bahwa barang bukti yang disimpan secara elektronik juga bisa dijadikan alat bukti yang sah dalam kasus tindak pidana korupsi. 

Selain itu, Pasal 38 huruf b UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No.15 / 2002), dan Pasal 27 huruf b UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU No. 15/2003), telah mengakomodir penyadapan (intersepsi) dapat dijadikan sebagai alat bukti. 

ads

Dasar hukum penggunaan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti di pengadilan menjadi semakin jelas setelah diundangkannya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 11/2008) telah dirubah dengan UU No. 19 tahun 2016. UU No. 11/2008 lebih memberikan kepastian hukum dan memberikan perluasan pemakaian alat bukti di bidang elektronik, tidak terbatas pada tindak pidana korupsi, pencucian uang dan terorisme saja. Selain informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti, UU No. 11 tahun 2008 juga berhasil mencetak (hasil cetak) sebagai alat bukti hukum yang sah, sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 tahun 2008 yang menyebutkan; Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. 

Jadi, hasil dari penyadapan (intersepsi) itu dikatagorikan sebagai informasi elektronik, namun demikian di dalam ketentuan pasal diatas terdapat juga istilah dokumen elektronik. Untuk mendapatkan pengertian "Informasi elektronik dan dokumen elektroni" dapat merujuk kepada Pasal 1 Angka 1 dan Angka 4 UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2008, sebagaimana tersebut di bawah ini: 

Pasal 1 Angka 1 

Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Pasal 1 Angka 4

Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Penyadapan (intersepsi) menurut UU ITE adalah kegiatan untuk mendegarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau informasi elektronik dan / atau dokumen Elektronik yang tidak penting publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi mapun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi. 

ads

Tujuannya di dalam UU No. 11/2008 dikecualikan dalam kerangka penegakkan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.

Pasal 31 Jo. Pasal 47 UU No. 11/2008 pembatasan dengan orang yang melakukan intersepsi atau penyadapan tanpa ada permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang menetapkan Undang-undang, seperti KPK.

Penyadapan harus dengan cara yang sah, jika didapat melalui cara-cara yang tidak sah maka tidak dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah pula, bahkan pelakunya dapat diancam pidana ( unlawful legal evidence ). Penyadapan oleh penegak hukum dalam hal ini kejaksaan dan kepolisian diperbolehkan dengan syarat adanya ijin dari lembaga pengadilan sebagaimana telah dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 20 / PUU-XIII / 2015 atas permohonan mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto.