Kami Menduga Ada Upaya Kriminalisasi Komisi Yudisial RI

Kami Menduga Ada Upaya Kriminalisasi Komisi Yudisial RI

Kasus dugaan pelanggaran Pasal 28 (2) Jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA di Polda Metro Jaya tengah bergulir. Laporan dengan No.  LP/4965/IX/2018/PMJ/Dit.Reskrimum dibuat oleh 64 orang hakim dengan terlapor juru bicara Komisi Yudisial Republik Indonesia bernama Dr. Farid Wajdi SH., M.Hum.

Kali ini penyidik memanggil saksi Syamsul Maarif dengan Surat No. S.Pgl/0818/XI/2018/Ditreskrimum dan Cicut Sutiarso dengan Surat No. S.Pgl/10766/XI/2018/Ditreskrimum

Kasus ini bermula dari pernyataan Dr. Farid Wajdi SH., M.Hum selaku juru bicara Komisi Yudisial Republik Indonesia di Harian Kompas 12 September 2018 dengan judul “Hakim di Daerah Keluhkan Iuran”.

Menyikapi hal itu Denny Ardiansyah Lubis didampingi Mahmud Irsyad Lubis selaku kuasa hukum Dr. Farid Wajdi, S.H., M.Hum., yang tergabung dalam Koalisi Advokat Selamatkan Komisi Yudisial (KAS-KY) menegaskan pernyataan itu adalah dalam rangka menjalankan tugas UU No. 22 tahun 2004 Jo. UU No. 18 tahun 2011 tentang Komisi Yudisial. Pernyataan itupun sama sekali tidak mengandung ujaran kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.

“Selaku juru bicara KY maka apa yang dilakukan klien kami sebagai perbuatan menjalan amanah UU tentang KY. Dan untuk itu, tidak ada pernyataan yang menimbulkan kebencihan dan permusuhan berdasarkan SARA”.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kasus ini bersifat sengketa pers, dan Dewan Pers sebagai lembaga yang berwenang untuk menilainya telah menegaskan ini adalah sengketa pers di dalam Suratnya No. 551/DP/K/X/2018.

Pers memiliki mekanisme hukum tersendiri sesuai UU No. 49 tahun 1999 tentang Pers, dan telah ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara Dewan Pers Dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 2/DP/MoU/II/2017 No: B/5/II/2017 Tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait penyalahgunaan Profesi Wartawan.

“Kasus ini bersumber dari pemberitaan di media massa maka proses hukum tidak bisa mengabaikan UU Pers, tidak bisa langsung-langsung membuat laporan pidana, harus terlebih dahulu melalui mekanisme kejurnalistikan. Apalagi Dewan Pers sebagai lembaga yang berwenang secara jelas dan tegas menyatakan ini dikatagorikan sengketa pers”.

Denny melanjutkan “Yang harus menjadi rujukan dalam kasus ini adalah Nota Kesepahaman antara Dewan Pers Dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Koordinasi Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Penyalahgunaan Profesi Wartawan, dan Dewan Pers telah menegaskan ini adalah sengketa pers jadi sudah clear harus menempuh hak jawab dan atau hak koreksi ke redaksi media massa dimaksud”

Denny juga mengingatkan “proses pidana dalam kasus ini bisa membahayakan kebebasan pers dan independensi pers terkait hak menyampaikan pandangan, pendapat dan sosial kontrol bagi para narasumber”

“Jika proses pidana ini diteruskan maka kami menduga ada upaya kriminalisasi Komisi Yudisial dimana KY dalam menjalankan tugas telah berusaha untuk transparan, disamping itu dapat melanggar fatsun check and balances dalam bernegara” tutup Denny.