JPU Bacakan Dakwaan Walikota Medan Nonaktif
Walikota Medan nonaktif Dzulmi Eldin

JPU Bacakan Dakwaan Walikota Medan Nonaktif

Litigasi - Walikota Medan non-aktif Dzulmi Eldin menjalani sidang perdana Kamis 5/3/2020 di Ruang Utama Cakra I Pengadilan Tipikor Medan dengan Register Perkara No. 18/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Mdn. Kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) yang menimpanya dalam rangkaian OTT KPK pada 15-16 Oktober 2019 silam.

Surat Dakwaan JPU bersifat alternatif dengan meletakkan dua pasal utama dari UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dakwaan pertama melanggar Pasal 12 huruf a atau dakwaan kedua melanggar Pasal 11 UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Pasal 11 menyatakan:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.  

Pasal 12 menyatakan:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

Kedua Pasal tersebut merupakan pasal utama dalam surat dakwaan untuk menjerat perbuatan terdakwa yang diduga memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi.

Namun untuk menjerat pihak-pihak lain yang terlibat dalam berlangsungnya tindak pidana maka JPU menerapkan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. Disamping itu berkaitan dengan cara terlaksananya tindak pidana, tahapan perbuatan dari satu waktu ke waktu yang lain atau dari satu tempat ke tempat lain namun masih berkaitan dan dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut maka diterapkan Pasal 64 Ayat (1) KUHP.  

Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP tersebut yang diterapkan dalam Surat Dakwaan JPU dikarenakan dalam rangkaian tindak pidana korupsi, terdakwa Eldin dikatagorikan sebagai orang yang menyuruh orang lain (doen plegen) untuk  melakukan tindak pidana korupsi atau Eldin dinyatakan sebagai orang yang turut serta (medeplegen) melakukan tindak pidana korupsi. Inilah isi Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.”

Kemudian, JPU juga memasukan Pasal 64 Ayat (1) KUHP dalam Surat Dakwaannya dikarenakan rangkaian perbuatan tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada Eldin tidak dilakukan dalam satu waktu tetapi berlangsung dari satu waktu berlanjut ke waktu yang lain, perbuatan dilakukan secara bertahap yang berkaitan erat dan dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut sehingga sempurna tindak pidana korupsi itu. Adapun isi Pasal 64 Ayat (1) KUHP menyatakan; “Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.”

Dalam surat dakwaan JPU dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa “waktu tindak pidana korupsi terjadi dari sekira bulan Juli 2018 sampai dengan tanggal 15 Oktober 2019 atau setidak-tidaknya pada waktu lain di tahun 2018 sampai dengan tahun 2019 dengan tempat yang terpisah tetapi masih dalam wilayah hukum Pengadilan Tipikor Medan.”

“Terdakwa bersama-sama dengan Samsul Fitri yang saat itu menjabat Kepala Sub Bagian (Kasubbag) Protokol Bagian Umum Sekretariat Daerah Pemko Medan melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut, menerima hadiah atau janji yaitu menerima uang secara bertahap berjumlah Rp2.155.000.000,00 (dua miliar seratus lima puluh lima juta rupiah) atau sekira sejumlah itu dari beberapa Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD)/Pejabat Eselon II Pemko Medan” demikian dinyatakan JPU dalam sura dakwaannya.

Disamping itu JPU dalam surat dakwaannya menyatakan “Terdakwa sejak sekira pertengahan Juli 2018 mulai memberikan kepercayaan kepada Samsul Fitri untuk mengelola anggaran kegiatan Walikota yang sudah dianggarkan dalam anggaran operasional Protokol Walikota Medan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun anggaran kegiatan Walikota yang tidak ada dalam APBD (non budgeter). Untuk memenuhi kebutuhan anggaran yang tidak ada dalam APBD tersebut, Terdakwa memberikan arahan kepada Samsul Fitri untuk meminta uang kepada Kepala OPD di Lingkungan Pemko Medan guna mencukupi kebutuhan tersebut, walaupun sebenarnya Terdakwa mengetahui hal itu bertentangan dengan kewajibannya selaku Walikota.”

Setelah JPU membacakan surat dakwaannya, Majelis Hakim yang dipimpin langsung oleh Abdul Aziz, SH., MH., yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua PN Medan, mempertanyakan tanggapan terdakwa atas surat dakwaan itu. Kemudian terdakwa melalui Penasihat Hukumnya akan mengajukan eksepsi (keberatan atau tangkisan).

Untuk memberikan kesempatan bagi penasihat hukum terdakwa maka Majelis Hakim menunda persidangan, dan ditentukan waktu persidangan berikutnya pada Kamis 12 Maret 2020 dengan agenda membacakan eksepsi dari penasihat hukum terdakwa (irv).