Jeratan Hukum Bagi Tersangka Kasus Hanyutnya Siswa SMPN 1 Turi, Sleman
Para tersangka

Jeratan Hukum Bagi Tersangka Kasus Hanyutnya Siswa SMPN 1 Turi, Sleman

Litigasi - Sepekan terakhir publik dikejutkan dengan insiden hanyutnya siswa SMPN 1 Turi di Sungai Sempor, Desa Donokerto, Kec. Turi, Kab. Sleman, Daerah Istimewa Jogjakarta (Jumat 21/2/2020). Hingga Selasa 25/2/2020 korban tewas dikabarkan sebanyak 10 (sepuluh) siswa. 

ads

Peristiwa itu terjadi ketika SMPN 1 Turi mengadakan Susur Sungai Sangor pada kegiatan Kepramukaan yang diikuti oleh sekitar 249 siswa, dibimbing dengan 4 (empat) orang Pembina.

Kepala Kwartir Cabang (Kwarcab) Kepramukaan Gunungkidul menyatakan untuk “cooling down” lebih dulu dan menghindari kegiatan-kegiatan yang beresiko tinggi. Sikap itu juga mendapat dukungan dari Wakil Bupati Gunungkidul, sebagai akibat dari insiden di Sungai Sempor.

Akibat kejadian itu, Kepolisian Resor Sleman melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan memeriksa saksi-saksi, terjun langsung ke lokasi kejadian serta melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk mengumpulkan bukti-bukti. Hasilnya, sampai dengan Selasa 25/2/2020, penyidik Kepolisian Resor Sleman menetapkan 3 (tiga) Pembina Pramuka SMPN 1 Turi sebagai tersangka, yakni an. Isfan Yoppy, Riyanto dan Danang Dewo Subroto. Untuk mempermudah proses penyidikan maka penyidik melakukan upaya paksa berupa penahanan terhadap ketiga tersangka.

ads

Sedangkan pasal yang dipersangkakan kepada tersangka adalah dugaan melanggar Pasal 359 dan 360 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang isinya sebagai berikut:

Pasal 359

Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 360

(1)   Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

(2)   Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebahkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

Penerapan pasal tersebut tentunya telah melewati proses pengkajian dan penelitian terhadap alat-alat bukti, pengumpulan barang bukti, investigasi lapangan dan korban meninggal dunia maupun korban luka. Kedudukan alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP sangat penting untuk menentukan pasal yang dipersangkakan agar kasus posisinya benar adanya.   

Yang perlu digarisbawahi dari kedua Pasal di atas adalah kelimat “karena kesalahannya (kealpaannya)” karena dengan kalimat itu, kedua pasal itu memiliki karakteristik berbeda dengan pasal-pasal lain di dalam KUHP, dimana dalam ilmu hukum pidana kedua pasal itu dikatagorikan sebagai delik culpa, dan dapat dihukum. 

Maksud “delik culpa” disini adalah tindak pidana yang terjadi dikarenakan adanya kesalahan atau kelalaian atau kealpaan dari pelakunya. Delik culpa dapat dikatakan sebagai lawan dari “delik sengaja” atau terjadinya tindak pidana karena adanya unsur kesengajaan atau kehendak dari pelakunya.

Sebagai pembeda, pasal yang dikatagorikan sebagai “delik sengaja” disyaratkan adanya unsur kesengajaan sehingga terjadi tindak pidana, sebagai contoh Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang isinya tegas menyebutkan unsur kesengajaan, yakni; “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.” Jadi, untuk menerapkan Pasal 340 ini harus dibuktikan unsur kesengajaan pelaku, tanpa kesengajaan maka pelaku tidak bisa dijerat dengan pasal itu.

Dalam kasus hanyutnya siswa SMPN 1 Turi diatas, Pasal 359 dan 360 KUHP tidak mempersyaratkan “unsur kesengajaan.” Tetapi pasal itu mempersyaratkan unsur “karena kesalahannya (kealpaannya)” yang memiliki makna berlawanan dengan “kesengajaan”.

KUHP sendiri tidak memberikan arti dari “kesalahan (kealpaan)”, oleh karenanya perlu merujuk kepada pendapat ahli hukum pidana dan sumber hukum lainnya. Ini sebagai parameter dan memudahkan dalam menerapkan pasal.

Salah satu pendapat ahli hukum pidana S.R. Sianturi dalam bukunya berjudul “Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya” Halaman 511 menyatakan bahwa “kealpaannya” pada dasarnya ialah kekurang hati-hatian atau lalai, kekurang waspadaan, kesemberonoan atau keteledoran, kurang menggunakan ingatannya atau kekhilafan atau sekiranya dia hati-hati, waspada, tertib atau ingat, peristiwa itu tidak akan terjadi atau akan dapat dicegah. 

ads

M.v.T. (Memorie van Toelichting) menjelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan, kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan dan kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.

Sedangkan menurut van Hamel, dua hal yang terdapat dalam kealpaan adalah tidak ada penduga-duga dan tidak adanya penghati-hatian. Demikian pula Simons yang menyatakan isi kealpaan mengandung dua unsur yakni tidak adanya penghati-hatian disamping dapat diduga-duganya akibat yang akan timbul. Dapat disimpulkan bahwa syarat kealpaan adalah tidak adanya penghati-hatian dan atau tidak adanya penduga-dugaan. Seperti dikutip dalam buku karangan Edy O.S. Hiariej dalam bukunya berjudul “Prinsip-Prinsip Hukum Pidana” Halaman 151.

Disamping itu, disampaikan oleh E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi dalam bukunya berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya” Halaman 194, menerangkan bahwa dilihat dari sudut kecerdasan atau kekuatan ingatan pelaku, maka perbedaan gradasi kealpaan ada dua tingkatan yakni kealpaan yang berat (culpa lata) dan kealpaan yang ringan (culpa levis). Namun dilihat dari sudut kesadaran (bewustheid) diperbedaan gradasi ke dalam dua tingkatan juga yakni kealpaan yang disadari (bewustheid schuld) dan kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld). 

Dari pendapat para ahli tersebut disingkronkan dengan informasi fakta yang didapat dalam proses penyidikan kasus hanyutnya siswa SMPN1 Turi maka untuk menerapkan Pasal 359 dan 360 KUHP berkaitan dengan “unsur dengan kesalahannya (kealpaannya)” harus diukur dengan parameter yang disampaikan oleh para ahli tersebut di atas. Yakni tentang perbuatan ketiga tersangka mencerminkan kekurang hati-hatian atau lalai, kekurang waspadaan, kesemberonoan atau keteledoran, kurang menggunakan ingatannya atau kekhilafan atau sekiranya dia hati-hati, waspada, tertib atau ingat, peristiwa itu tidak akan terjadi atau akan dapat dicegah. Publik juga harus tahu bahwa ini kelalaian bukan kesengajaan, jadi insiden hanyutnya siswa bukan dimaksudkan oleh para tersangka melainkan ketidak sengajaan atau karena adanya kelalaian pelaku.

Sepintas perbuatan ketiga tersangka memenuhi parameter tersebut, dasar faktanya adanya informasi bahwa salah satu tersangka tidak berada di lokasi kejadian untuk mengawasi atau membimbing siswa-siswa yang berjumlah 249 orang. Kemudian fakta tentang tidak sebandingnya antara jumlah siswa yang mengikuti Susur Sungai Sangor dengan pembina yang saat kejadian hanya berjumlah 4 (empat) orang, tentu ini tidak sebanding. Kemudian kondisi cuaca yang mendung atau gerimis pada saat berlangsungnya kegiatan itu dan lain-lain yang tentunya sudah lebih lengkap dikaji oleh penyidik.

Disamping itu, gradasi kealpaan perlu diperhatikan apakah memenuhi kealpaan berat (culpa lata) atau kealpaan ringan (culpa levis). Disini ada fakta bahwa salah seorang tersangka memiliki sertifikasi keahlian dalam melakukan kegiatan dimaksud. Tentunya ada pengalaman dan pengetahuan, sehingga sudah seharusnya mengetahui dan memperkirakan akan ada resiko jika kegiatan itu tetap dilangsungkan, dengan demikian dapat dinilai bahwa perbuatan tersangka itu termasuk kepada kealpaan berat (culpa lata). (red)