Guru Korban Kekerasan Minta Bentuk Dewan Kehormatan Guru

Guru Korban Kekerasan Minta Bentuk Dewan Kehormatan Guru

Senin 31/10/2018, Syahyudi S.PdI dan Cindy Claudyana Sembiring K sebagai guru korban kekerasan orang tua murid di SMA YP Shafiyyatul Amaliyah mendatangi organisasi profesi guru Sumut bersama kuasa hukumnya dari Tim Pembela Guru & Dosen (TPGD), maksud kedatangannya untuk memperoleh kepastian hukum dan keadilan mengenai adanya tuduhan kepada mereka telah melakukan penyiksaan kepada peserta didik a.n. MHS. Mereka diterima oleh konsorsium organisasi profesi guru dan tokoh pendidikan diantaranya Dr. Bahdin Nur Tanjung SE MM., Dr. Joharis Lubis SE., MM., Abdul Latif Ibrahim dan lain-lain.

Avrizal Hamdhy Kusuma SH., MH., didampingi Bambang Santoso, SH., MH., Hendra Julianta SH., Zakaria Rambe, SH., dan M. Jamil Siagian, SH., selaku kuasa hukum menjelaskan “Kedatangan Kami didasari oleh ketentuan Pasal  44 UU No. 14 Tahun 2005 yang pada pokoknya menentukan Dewan Kehormatan Guru (DKG) dibentuk oleh organisasi profesi guru untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru. Sehingga ketika ada tuduhan kepada guru melakukan kesalahan dalam menjalankan profesinya harus diperiksa secara etik oleh DKG”.

Penjelasan Avrizal, advokat yang akrab dipanggil Buya Hamdhy “Awalnya ada pengaduan orang tua murid ke pihak sekolah bahwa anaknya mengalami penyiksaan dan pem-bully-an oleh Klien Kami, kemudian dalam penanganan pengaduan itu, Kepsek SMA YPSA langsung menggelar mediasi dengan mempertemukan Klien Kami dan orang tua murid, diikuti pihak-pihak yang tidak berkepentingan. Namun mediasi malah berujung kekearasan kepada Klien Kami, Kamis 04/10/2018. Padahal menurut Permendikbud No. 82 Tahun 2015 seharusnya Kepsek mengambil Langkah Penanggulangan yang menitikberatkan tindakan identifikasi fakta kejadian terlebih dahulu, sementara mediasi di dalam Langkah Penanggulangan sesungguhnya tidak dikenal di dalam Permendikbud tersebut”.

Buya Hamdhy menjelaskan “Setelah Klien Kami mengalami kekerasan, Kepala Sekolah tidak memberikan pertolongan perobatan padahal YPSA memiliki Klinik Pratama Mitra Bunda YPSA, hingga sore hari Klien Kami berada di dalam ruangan Kepsek”.

Disayangkan oleh Buya Hamdhy pada Sore harinya sekitar pukul 17.55 wib, Badan Pengurus Harian YP Syafiyyatul Amaliyyah a.n. Ibu Addaratul Hasanah, S.Sos, S.Pd didampingi Bapak Bagoes Maulana, M.Kom Kepala Sekolah SMA malah mengambil tindakan skorsing selama 3 (tiga) hari kepada Syahyudi dan Pemberhentian atau Pemutusan Hubungan Kerja kepada Cindy Claudyana Sembiring K. Inikan tidak manusiawi dimana saat Klien Kami berposisi sebagai korban kekerasan dan tidak berdaya langsung diambil tindakan skorsing dan PHK”.

Nah menurut Buya Hamdhy, “Tindakan skorsing dan PHK itu tentunya membenarkan Klien Kami melakukan kesalahan seperti yang dituduhkan orang tua murid. Untuk itu Kami meminta agar Konsorsium Organisasi Profesi Guru membentuk DKG dan memeriksa Klien Kami berdasarkan Kode Etik Profesi Guru, apakah Klien Kami melanggar kode etik guru. Klien Kami berkepentingan untuk mengujinya berdasarkan pemeriksaan kode etik guru yang diatur dalam Pasal 44 UU No. 14 Tahun 2005”.

Lebih lanjut Buya Hamdhy mengatakan optimis kliennya akan dinyatakan tidak melanggar Kode Etik Guru dengan mengingat kekuatan dari Pasal 39 ayat (1) PP No. 74 Tahun 2008 yang menegaskan bahwasanya Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan Guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya. “Insya Allah, tidak melanggar Kode Etik Guru karena klien kami tidak ada memberikan hukuman dalam bentuk penyiksaan, melainkan masih dalam kepatutan dan bersifat mendidik, ujar Buya Hamdhy optimis”.