Fungsi Hukum Sebagai Sarana Perbaikan Karakter Masyarakat

Fungsi Hukum Sebagai Sarana Perbaikan Karakter Masyarakat

Penulis- Dr Tengku Erwinsyahbana, SH., MHum.

Pembangunan hukum hendaknya dapat mengisi kekurangan/kekosongan hukum sebagai pengarah dinamika lingkungan strategis yang sangat cepat berubah. Perencanaan hukum sebagai bagian dari pembangunan materi hukum harus diselenggarakan dengan memperhatikan berbagai aspek yang memengaruhi, baik di dalam masyarakat sendiri, maupun dalam pergaulan masyarakat internasional yang dilakukan secara terpadu dan meliputi semua bidang pembangunan, sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, serta dapat mengantisipasi perkembangan zaman.

ads

Pembentukan hukum yang diselenggarakan melalui proses terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, akan menghasilkan produk hukum beserta peraturan pelaksanaan yang dapat diaplikasikan secara efektif dengan didukung oleh penelitian dan pengembangan hukum yang didasarkan pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Pembangunan hukum tersebut harus diarahkan pada semua aspek kehidupan, sehingga hukum nasional selalu dapat mengikuti perkembangan dan dinamika pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, baik kebutuhan saat ini, maupun masa depan. Pembangunan hukum ini sendiri juga harus diikuti dengan peningkatan perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum yang tinggi dan harus terus ditingkatkan, sehingga akan terbentuk perilaku warga negara Indonesia yang mempunyai rasa memiliki dan taat hukum. Perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum yang tinggi harus didukung oleh pelayanan dan bantuan hukum dengan biaya yang terjangkau, proses yang tidak berbelit, dan penetapan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.

Hukum akan selalu memerlukan pembaharuan, karena masyarakat selalu berubah atau tidak statis. Menurut Satjipto Rahardjo (2009: 190), dikatakan bahwa perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dapat digolongkan dalam 2 (dua) kategori, yaitu: (1) perubahan yang lambat, yang inkremental, bertambah sedikit demi sedikit; dan (2) perubahan skala besar (perubahan revolusioner). Terhadap perubahan yang lambat, maka adaptasi antara hukum dan masyarakat cukup dilakukan dengan melakukan perubahan kecil-kecilan pada tatanan peraturan yang ada, baik dengan cara mengubah maupun menambahnya. Metoda penafsiran hukum dan konstruksi hukum juga termasuk pada perlengkapan untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang tidak berskala besar. Terhadap perubahan yang bersifat atau berskala besar, maka pembaruan dengan cara kecil-kecilan tidak mungkin lagi cukup untuk mengatasinya, berarti penyesuaian harus dilakukan secara revolusioner sebagaimana ditempuh oleh negara-negara Eropa ketika memilih peradaban civil society (masyarakat sipil).

Sehubungan dengan pembangunan atau pembaruan hukum, Soetandyo Wignjosoebroto (2007: 94), membedakan pembaharuan hukum dalam arti legal reform dengan pembaruan hukum dalam arti law reform. Pembaruan hukum dalam arti legal reform diperuntukkan bagi masyarakat di mana hukum hanya sebagai sub-sistem dan berfungsi sebagai tool of social enginering semata-mata. Hukum hanya menjadi bagian dari proses politik yang mungkin juga progresif dan reformatif. Pembaruan hukum di sini hanya diartikan sebagai pembaruan undang-undang. Sebagai proses politik secara gamblang dikatakan bahwa pembaruan hukum hanya melibatkan pemikiran-pemikiran kaum politisi atau juga sedikit kaum elit profesional yang memiliki akses lobi, dan dalam konteks legal reform, maka pembangunan hukum di Indonesia termasuk dalam kategori ini. Berbeda dengan pembaruan hukum dalam arti law reform, maka dalam bentuk ini hukum tidak menjadi urusan para hakim dan penegak hukum lainnya, tetapi juga urusan publik secara umum, yang mungkin saja telah dibuat dalam bentuk undang-undang, tetapi undang-undang itu tidak bersifat sakral di atas segala-galanya. Dalam konsep ini hukum adalah produk aktivitas politik rakyat yang berdaulat, yang digerakkan oleh kepentingan rakyat yang berdaulat yang dapat diilhami oleh kebutuhan ekonomi, norma sosial, atau nilai-nilai ideal kultur rakyat itu sendiri.

ads

Pembangunan atau pembaharuan hukum yang dilaksanakan hendaknya dapat berjalan seiring (selaras) dengan perkembangan kehidupan masyarakat, terutama dalam bidang hukum yang bersifat netral yang dapat berlaku umum (seperti: hukum pidana, hukum bisnis, hukum benda dan lain-lain), tetapi terhadap hukum yang bersifat tidak netral, (seperti hukum perkawinan, hukum waris dan hukum keluarga), maka pembangunan hukumnya harus memperhatikan kemajemukan yang ada dalam masyarakat dan dilaksanakan secara hati-hati dengan mempertimbangkan tingkat sensitifitasnya bagi masyarakat.

Mochtar Kusumaatmadja (1986: 24), mengatakan bahwa dalam bidang hukum tidak netral (seperti bidang hukum keluarga), pembaharuan dalam bentuk unifikasi tidaklah mudah, karena menyangkut kultur dan keyakinan masyarakat, apalagi dalam masyarakat yang pluralistis seperti di Indonesia ini, tetapi dalam sejarahnya, Indonesia punya pengalaman, karena berhasil melakukan unifikasi bidang hukum tidak netral, yaitu dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), oleh sebab itu, menurut Hazairin (1975: 5) dan Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi (2002: 31), dikatakan bahwa undang-undang ini sebagai penyatuan (unifikasi) yang unik, dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, karena (masih mentolerir adanya pluralisme hukum).

Pembinaan hukum nasional harus dilakukan dengan tetap memperhatikan kesadaran hukum masyarakat, dengan kata lain setiap undang-undang yang berlaku hendaknya dapat diselaraskan dengan kesadaran hukum masyarakat di Indonesia. Atas dasar ini maka sebenarnya hukum itu tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai non yudiris yang dalam kenyataan memang ada dalam masyarakat dan ketika nilai-nilai ini diabaikan maka efektifitas hukum itu sendiri menjadi diragukan. Bahkan hukum tidak hanya dapat dimaknai sebagai kumpulan peraturan tertulis yang terdapat dalam undang-undang, karena dalam banyak kasus justru nilai-nilai yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat yang lebih dipatuhi masyarakat dibanding aturan hukum yang telah dipositif oleh penguasa negara.

Pembaruan hukum tetap harus dilanjutkan, karena kehidupan masyarakat akan selalu mengalami perubahan, sehingga aturan hukum sering tertinggal dan tidak dapat menyelesaikan persoalan yang terjadi dalam masyarakat, tetapi pembaruan hukum tersebut hendaknya dapat dilakukan sebagai bagian dari upaya pembentukan satu sistem hukum nasional yang selama ini masih dicita-citakan. Perlunya pembaruan ini dilakukan karena menurut Sunaryati Hartono (2002: 12), dikatakan bahwa makna dari pembangunan hukum meliputi: (1) menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih baik); (2) mengubah agar menjadi lebih baik dan moderen; (3) mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada; dan (4) meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem lama, karena tidak diperlukan dan tidak cocok dengan sistem baru, sehingga pembangunan hukum merupakan suatu proses yang dinamis yang harus dilakukan terus menerus dan bahkan merupakan suatu proses yang tidak akan pernah selesai, karena setiap kemajuan menuntut perubahan yang lebih maju dalam masyarakat yang terus berubah.

Pembaruan hukum hendaknya juga ditujukan bagi upaya pembaruan masyarakat, karena menurut Mochtar Kusumatmadja(1986: 24),  dikatakan bahwa hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat dan untuk mencapai tujuan itu diperlukan adanya hukum yang baik, yaitu hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, sehingga menimbulkan konsekuensi bahwa hukum tidak boleh ketinggalan dalam proses perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Nilai-nilai yang dimaksudkan adalah nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, berarti bangunan sistem hukum yang diharapkan harus memperhatikan keseimbangan kepentingan individu, masyarakat dan negara, karena menurut Otje Salman (2005: 159), dikatakan bahwa dilihat secara bulat atau holistik, yaitu dengan melihat dasar pikiran dalam Sila Pertama, Ketiga dan Kelima, maka keseimbangan (balance) merupakan substansi pokok yang terkandung di dalamnya. Keseimbangan yang dijelaskan dalam keseluruhan sila-silanya adalah keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat serta kepentingan penguasa yang dituntun oleh Sila Ketuhanan.

ads

Selain harus memperhatikan ketiga kepentingan tersebut di atas, maka pembaharuan hukum, harus ditujukan untuk mewujudkan karakter masyarakat yang berakhlak mulia dan bermoral berdasarkan falsafah Pancasila, karena dalam Lampiran Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, disebutkan bahwa sasaran pembangunan nasional antara lain: “terwujudnya masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab”. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat, yang minimal terdiri dari suami dan isteri, oleh sebab itu karakter masyarakat mempunyai hubungan yang signifikan dengan karakter keluarga dan individu dalam keluarga. Pembentukan karakter individu dalam keluarga dan masyarakat sangat tergantung pada pemahaman individu terhadap nilai-nilai (ajaran) agama.

Berhubung individu merupakan bagian dari anggota masyarakat, maka karakter masyarakat sangat ditentukan oleh karakter individu dalam masyarakat, sehingga terdapat hubungan pembentukan karakter masyarakat melalui pembentukan karakter individu, maka pembaharuan hukum sekaligus diharapkan dapat merubah atau lebih tepat dikatakan untuk memperbaiki karakter masyarakat agar menjadi masyarakat yang berakhlak mulia. Oleh sebab itu, selain sebagai “sarana pembaharuan masyarakat”, maka fungsi hukum hendaknya dapat dijadikan sebagai “sarana memperbaiki karakter masyarakat”.

* Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dan Ketua Umum Pusat Studi Konstitusi dan Perundang-undangan “ATRYNAMS”