Covid-19 Desease; Sahkah Nikah Melalui Video Teleconference?
Mhd. Ansor Lubis, SH., MH.

Covid-19 Desease; Sahkah Nikah Melalui Video Teleconference?

Oleh; Mhd. Ansor Lubis, SH.,M.H.*

Semenjak terjadi penyebaran Covid-19 pada bulan lalu hingga saat sekarang ini semua instansi Pemerintahan Indonesia telah mengeluarkan kebijakan berupa surat edaran masing-masing terkait penanggulangan penyebaran Covid-19 dengan tujuan memumutus matarantai penyebaran Covid-19, kesemuannya itu dilakukan Pemerintah tidak lain hanya untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di lingkungan masyakat Indonesia yang mayoritas penduduknya mempunyai beragam suku budaya dan bangsa.

ads

Kebijakan tersebut berlaku untuk semua instansi Pemerintahan begitu juga dengan surat maklumat Kapolri RI Nomor: Mak/2/III/2020 Jendral Pol Idham Aziz dimana maklumat tersebut berpedoman kepada Asas Salus Populi Suprema Lex Esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi) sehingga masyarakat diperintahkan untuk tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak baik di tempat umum maupun di lingkungannya sendiri.

Kegiatan tersebut juga melarang adanya resepsi keluarga seperti mengadakan akad nikah, resepsi pernikahan serta kegiatan lain nya yang mengundang orang banyak.

Kemudian dipertegas, bahwa apabila ditemukan perbuatan yang bertentangan dengan maklumat Kapolri tersebut maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan kepolisian yang diperlukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tindakan yang dimaksud adalah tindakan Polri berupa pembubaran pesta pernikahan, akad nikah dan hal-hal lain yang dianggap tidak sesuai aturan dengan maksud agar memutus penyebaran Covid-19. Pernikahan yang muncul di masyarakat sekarang ini adalah pernikahan melalui Video Call melalui WA/Video Conference seperti yang terjadi di Kabupaten Kolaka dan di Lhokseumawe Aceh.

Hukum Pernikahan Melalui Akad Video Call (WA)/Video Conference

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Pernikahan di Pasal 1 menjelaskan bahwa Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan tersebut adalah perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga dianjurkan oleh Nabi sebagaimana firman Nya dalam Surat An-Nur ayat 32 berbunyi:

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya: Dan kawinilah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang Yang layak (untuk kawin) diantara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.

UU Perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan tetapi membicarakan syarat-syarat perkawinan dimana syarat tersebut banyak mengandung unsur-unsur rukun pernikahan yaitu: calon suami; calon istri; wali nikah; dua orang saksi; dan ijab qabul.

Sehingga timbul di masyarakat pernikahan yang dilangsungkan tanpa akad secara langsung tetapi terhijab melalui Video Call (WA)/Video Conference, dengan melihat keadaan darurat dan situasi Covid-19 yang belum tentu kapan akan berakhir sehingga masyarakat menunggu kepastian pemberitahuan tanpa batas waktu tertentu.

ads

Ijab adalah pertalian ijab (penyerahan) dengan Qabul (ucapan penerimaan) sebagaimana dikatakan didalam kitab fikih fath al-wahab adalah: Aqdun yat athamanu ibahata wath’in billafdhi inkahin au nahwihi, akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan berhubungan badan dengan menggunakan kalimat nikah dengan tujuan akad adalah penghalalan hubungan suami istri.

Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya al-mazahib al ar-baah menyatakan bahwa para mujutahid telah sepakat mensyaratkan bersatunya majelis ‘ittihad al-majelis’ bagi ijab dan qabul. Maksudnya adalah katika wali nikah mengucapkan ijab, segera mempelai laki-laki mengucapkan qabul. Oleh karena itu, apabila tidak sejalan antara pengucapan laki-laki dengan pihak wali artinya tidak bersatu dengan “majelis” maka harus diulang kembali.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hukum terapan dalam keluarga mengatur syarat bersatunya majelis dalam akad nikah didalam pasal 27 menyatakan: ijab dan qabul antara wali nikah dengan calon mempelai laki-laki harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Kata harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu adalah kata lain untuk bersatunya majelis akad ‘ittihad al-majelis’.

Perbandingan antara konsep ‘ittihad al-majelis’ dengan muamalah terutama dalam jual beli jika dikaitkan dengan pernikahan telah mengalami perluasan, banyak dilakukan dengan tidak pada satu tempat seperti jual beli ekspor/impor dengan menggunakan media telekomunikasi modern, missal nya via WA, Via Telecomfrence, telepon, media online, faksimili, e-mail, layanan pesan singkat (SMS) dan cara demikian diakui dan sah secara hukum, karena media-media tersebut dapat memberikan jaminan kejelasan antara ijab qabul.

Lalu, apakah apabila diterapkan pada pernikahan jarak jauh melalui Video Call (WA)/Video Conference sah secara hukum?

Pernikahan jarak jauh misalnya, calon pengantin laki-laki ada di Surabaya dan calon pengantin wanita ada di Sumatera Utara, kemudian akad menggunakan Video Conference dengan layar monitor, misalnya, wali, dua orang saksi dan pegawai pencatat nikah ada di Sumatera Utara dan mempelai laki-laki ada di Surabaya dan ketika akad nikah, masing-masing pihak, baik yang ada di Surabaya maupun yang ada di Sumatera Utara dapat saling melihat dan ketika ijab diucapkan oleh wali dan qabul diucapkan oleh mempelai wanita dan para saksi maupun pegawai pencatat nikah melihat dari layar monitor bahwa ijab dan qabul betul-betul telah terlaksana dalam satu waktu (ittihad al-majelis’).

Mungkin adanya kekhawatiran pemalsuan suara dan pemalsuan orang lain sudah tidak ada artinya, karena masing-masing yang berakad, wali nikah, maupun calon mempelai laki-laki serta para saksi telah melihat secara langsung lawan akadnya.

“al-ibrotu fil uqud lil maqasid la lil alfadzi wal mabani”. Yang dipegangi dalam akad adalah maksud akad terpenuhi, bukan ditentukan oleh bentuk lafazd. Akad nikah jarak jauh dengan menggunakan media Video Call (WA)/Video Conference, maksud akad nikah terpenuhi, ijab diucapkan oleh wali, qabul diucapkan oleh mempelai laki-laki, disaksiakan oleh dua orang saksi, serta ijab qabulnya dilakukan secara berkesinambungan, walaupun kedua belah pihak yang berakad berada pada tempat yang berbeda.

Tetapi dalam pasal 29 KHI bahwa dalam hal tertentu ucapakan qabul nikah dapat diwakilkan kepada laki-laki lain dengan ketentuan calon mempelai laki-laki memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai laki-laki.

Kalau diperhatikan sejenak pasal tersebut ketika ingin melaksanakan akad pernikahan tidak dianjurkannya untuk memakai Video Call (WA)/Video Conference tetapi lebih mengedepankan orang lain dengan menggunakan surat kuasa kepada laki-laki lain tetapi akad nikah tersebut untuk mempelai laki-laki yang memberi kuasa.

*Penulis adalah alumni UIN-SU Medan & Pascasarjana USU bidang Hukum Tata Negara/Hukum Administrasi Negara, aktif sebagai Pemerhati Kebijakan Pemerintah, aktif pada Law Firm Bambang Santoso & Partner.