Beban Pembuktian Dalam Perkara Perdata
@ilustrasi

Beban Pembuktian Dalam Perkara Perdata

Litigasi - Hakim dalam memimpin persidangan harus bersikap adil (fair) dan tidak dibenarkan memihak kepada salah satu pihak (imparsial). Demikian pula ketika berlangsung agenda pembuktian di persidangan, hakim harus memberikan kesempatan yang seimbang kepada pihak-pihak untuk mengajukan alat buktinya masing-masing.

Dalam sidang perkara perdata hakim bersifat pasif, menunggu dalil-dalil dan bukti yang diajukan oleh masing-masing pihak, tidak boleh memutus lebih dari apa yang dimintakan di dalam petitum. Peran hakim tidak seaktif di dalam persidangan pidana sebab ada perbedaan orientasi antara hukum perdata dengan hukum pidana. Persidangan perdata berorientasi menemukan kebenaran formil sedangkan di sidang pidana bertujuan menemukan kebenaran materil.

ads

Gugatan yang diajukan ke hadapan hakim memuat dalil-dalil tentang hak penggugat yang dilanggar atau tidak dipenuhi oleh orang lain. Sedangkan tergugat berkepentingan untuk membantahnya atau membuktikan hal kebalikannya. Kebenaran dari dalil-dalil penggugat dan tergugat bergantung erat kepada nilai alat bukti yang diajukan.

Beban pembuktian bagi penggugat sangat tinggi, apa yang ia nyatakan dalam posita gugatan harus dibuktikan, jika tidak mampu membuktikannya maka dapat diperkirakan hakim akan menolak gugatan penggugat. Meskipun tergugat tidak mengajukan alat bukti akan tetapi penggugat tidak mampu membuktikan dalil gugatannya maka hakim dapat menolak gugatan penggugat, jadi beban pembuktian lebih berat bagi penggugat dibandingkan tergugat. Tergugat akan menelaah alur gugatan penggugat, jika berkepentingan mengajukan dalil bantahan maka dia dibenarkan mengajukan alat bukti (tegenbewijs). Jika ditimbang-timbang maka lebih berat beban pembuktian bagi penggugat dibandingkan tergugat, meskipun keduanya memiliki kesempatan yang sama atau adil (fair).

Berkaitan tentang beban pembuktian itu dapat merujuk ketentuan Pasal 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) menyatakan;

Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.

ads

Pasal tersebut sejalan dengan Pasal 163 HIR yang menegaskan;

Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebut sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.

Demikianlah yang dinyatakn dalam kedua pasal tersebut yang menitikberatkan beban pembuktian bagi penggugat. Jadi dalam meneguhkan haknya dan membantah dilil-dalil dari lawan harus berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan diajukan dengan tata cara yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam prakteknya, dapat dilihat di dalam beberapa yurisprudensi atau putusan mahkamah agung yang terbit dari hasil memeriksa dan mengadili perkara terdahulu. Yurisprudensi mana menjadi rujukan dan acuan bagi hakim-hakim di belakang hari.

Seperti di dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 540 K/Sip/1972, tanggal 11 September 1972 yang menyatakan:

Oleh karena posita gugatan penggugat disangkal oleh pihak tergugat, maka menurut Pasal 163 HIR pihak penggugat harus dibebani kewajiban untuk membuktikan posita gugatannya tersebut.

Kemudian Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/2004, tanggal 25 April 2005, menyatakan: Dalam persidangan, dalil gugatan penggugat telah disangkal oleh pihak tergugat, maka dengan mengingat Pasal 163 HIR, “beban pembuktian” terlebih dahulu harus diberikan kepada pihak penggugat, yang wajib membuktikan dalilnya tentang keberadaan/adanya “Akta Yayasan Trisakti” yang menjadi dasar dari gugatannya di mana perngugat menyatakan dirinya sebagai, pemilik; pengelola; pembina; penanggung jawab; dan Badan Penyelenggara Universitas Trisakti.

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 985 K/Sip/1971, tanggal 12 April 1972, menyatakan: Pihak yang mengajukan sesuatu dalil, ia harus dapat membuktikan dalilnya untuk menggugurkan dalil pihak lawan.

ads

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 197 K/Sip/1956 juga menyatakan: Dalam hal seorang pembeli yang dalam gugatannya mendalilkan bahwa dia telah membeli sebuah barang, maka kepada pembeli ini harus dibebani membuktikan adanya kontraknya, pembayaran harga pembelian. Adapun kepada pihak lawannya (penjual) harus dibebani pembuktian bahwa ia sebagai penjual sudah menyerahkan barang-barang yang dibeli oleh lawannya itu.

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1121 K/Sip/1971, tanggal 15 April 1972 juga menyatakan: Salah satu pihak yang mendalilkan sesuatu, dan disangkal oleh pihak lawannya, maka yang mendalilkan itulah yang harus membuktik dan dalilnya tersebut.

Nah, bagaimana jika penggugat tidak mampu membuktikan isi gugatannya? Maka dapat dipastikan gugatannya akan ditolak oleh majelis hakim seperti yang ditegaskan di dalam Yursiprudensi Mahkamah Agung No. 1574 K/Pdt/1983 menyatakan:

Penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatan berdasarkan alat bukti yang sah, sedangkan tergugat berhasil mempertahankan dalil bantahannya dengan demikian gugatan ditolak.

Atas dasar pasal dan yurisprudensi yang sudah dijelaskan diatas maka jelas bahwa:

  1. Pembuktian lebih dibebankan kepada penggugat meskipun tergugat dapat berkesempatan untuk membuktikan sebaliknya.
  2. Sepanjang penggugat tidak mampu membuktikan dalil-dalil gugatannya maka hakim akan menolak gugatannya. (red)