Apakah Anak Perempuan Bisa Mendinding (Hijab)?
@ilustrasi

Apakah Anak Perempuan Bisa Mendinding (Hijab)?

Perspektif Perkembangan Hukum Waris Islam

Litigasi - Dalam perkembangan Hukum Waris Islam terjadi perubahan dalam tataran teori maupun praktek. Penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran tentang waris Islam menjadi titik tolak perubahan itu. Hal itu pun diikuti oleh hakim-hakim pengadilan agama dalam mengeluarkan putusan waris Islam.

Secara kontekstual ayat Al-Quran tentang waris menegaskan anak laki-laki dapat menghijab ahli waris lainnya yakni menghijab saudara, paman, cucu si mayit (pewaris) sedangkan anak perempuan tidak dapat menghijab.

Demikian pula menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 176 yang menegaskan:

“Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian…”.

Poin dari Pasal tersebut di atas tentang porsi anak perempuan, yakni:

    1. Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian;
    2. Bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian;

Dapat dimaknai bahwa anak perempuan memiliki porsi yang telah ditetapkan. Apabila anak perempuan hanya seorang diri (tidak bersama suami/isteri, tidak bersama ayah/ibu pewaris) maka baginya separoh harta warisan, tidak seluruh harta warisan menjadi bagiannya, kemudian harta warisan itu dibagikan kepada paman atau saudara si mayit.

ads

Ketentuan KHI itu sejalan dengan isi Ayat Al-Quran dalam Surat An-Nisa ayat 11, yakni:

يُوۡصِيۡكُمُ اللّٰهُ فِىۡۤ اَوۡلَادِكُمۡ‌ۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ الۡاُنۡثَيَيۡنِ‌ ۚ فَاِنۡ كُنَّ نِسَآءً فَوۡقَ

اثۡنَتَيۡنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ‌ ۚ وَاِنۡ كَانَتۡ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصۡفُ‌

Artinya:
Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan).

Pada perkembangannya terjadi perubahan kedudukan anak perempuan yang dapat menghijab saudara pewaris. Hal itu telah masyhur di kalangan praktisi hukum waris, dimana anak perempuan ditetapkan dapat mendinding atau menghijab ahli waris lainnya (saudara dan paman), atau anak perempuan dapat menghabisi harta warisan jika posisinya hanya seorang (anak tunggal) atau tidak mewarisi bersama dengan suami/isteri, ayah atau ibu si mayit (pewaris).

Kenyataan anak perempuan dapat menghijab dapat dilihat dari yurisprudensi sebagai berikut:

    1. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Nomor: 86 K/AG/1994 Tanggal 27 juli 1996 pada pokoknya menyatakan “Selama masih ada anak laki-laki maupun anak perempuan maka hak waris dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali orang tua, suami dan isteri menjadi tertutup (terhijab)".
    2. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Nomor: 184 K/AG/1995 Tanggal 30 September 1996 yang pada pokoknya menyatakan “Dengan adanya anak perempuan dari pewaris. maka saudara-saudara kandung pewaris tertutup oleh Tergugat Asal I oleh karenanya Penggugat-Penggugat Asal tidak berhak atas harta warisan”.

Putusan Mahkamah Agung di atas berpijak pada penafsiran ayat Al-Quran Surat An-Nisa ayat 11 tersebut di atas.

Mahkamah Agung berpendapat bahwa selama masih ada anak baik laki-laki maupun perempuan, maka hak waris dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan Pewaris menjadi terhijab (kecuali orang tua, suami dan istri). Menurut Mahkamah Agung pendapat ini sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas salah seorang ahli tafsir yang mu’tabar dalam menafsirkan kata-kata “walad”pada Surat An-Nisa Ayat 176 yang isinya menyatakan:

يَسۡتَفۡتُوۡنَكَ ؕ قُلِ اللّٰهُ يُفۡتِيۡكُمۡ فِى الۡـكَلٰلَةِ‌ ؕ اِنِ امۡرُؤٌا هَلَكَ لَـيۡسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗۤ اُخۡتٌ

فَلَهَا نِصۡفُ مَا تَرَكَ‌ ۚ ‌

Artinya:
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya…

Ibnu Abbas seorang sahabat Rasulullah, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata “walad”(anak) dalam ayat tersebut di atas mencakup anak laki-laki dan anak perempuan. Pendapat ini sejalan dengan madzhab Zahiri. Alasan mereka antara lain adalah bahwa kata “walad” (anak) dan yang seakar dengannya dipakai dalam al-Qur’an bukan saja untuk anak laki-laki tetapi juga untuk anak perempuan.

Misalnya dalam Surat Annisa Ayat 11, Allah berfirman dengan memakai kata “aulad” (kata jama’ dari kata “walad” yang artinya: “Allah mewajibkan bagi kamu tentang “aulad” (anak-anakmu), buat seorang laki-laki (adalah) seperti bagian anak perempuan”.

Kata “walad” dalam ayat tersebut mencakup anak laki-laki dan anak perempuan. Sejalan dengan pengertian tersebut, maka kata “walad” dalam Surat an-Nisa Ayat 176, menurut mereka juga mencakup anak laki-laki maupun anak perempuan. Menurut pendapat ini, baik anak laki-laki maupun anak perempuan masing-masing mendinding saudara kandung Pewaris dari mendapatkan atau mewarisi harta peninggalan Pewaris.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, pandangan Ibnu Abbas tentang masalah ini diuraikan sebagai berikut: Ibnu Jarir dan rekan-rekannya meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair mengatakan bahwa jika mayit meninggalkan seorang anak perempuan dan seorang adik perempuan, maka adik perempuan tidak mendapatkan bagian.

Sementara menurut Jumhur dalam kasus pewaris meninggalkan ahli waris anak perempuan dan adik perempuan, maka anak perempuan mendapatkan setengah bagian dan adik perempuan mendapat ashobah berdasarkan 2 buah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

KHI mengatur tentang bagian waris saudara terdapat dalam pasal 182 KHI yang isinya menyatakan:

“Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.”

Pasal tersebut tidak menyebutkan dengan jelas kata anak, apakah anak laki-laki atau perempuan. Sehingga dalam hal ini diserahkan kepada interpretasi Hakim dalam melakukan ijtihadsesuai dengan kasus yang dihadapi. Meskipun dalam hal ini telah ada yurisprudensi Mahkamah Agung, tetapi karena secara teori Hakim tidak terikat dengan yurisprudensi, maka sebaiknya ditambahkan kata-kata laki-laki atau perempuan, sehingga mengikat para Hakim dalam memutus suatu perkara (red).

 

    • Salah satu refrensi dalam artikel ini adalah Makalah ditulis oleh; Syafruddin, berjudul “Terobosan Hukum Kewarisan Islam: Sebuah Langkah Mewujudkan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Kewarisan”, Pengadilan Agama Giri Menang.