Apa Kabar RUU PRT?
@ilustrasi

Apa Kabar RUU PRT?

Oleh: Arfan Adha Lubis, MH

Rancangan Undang-Undang (RUU) Pekerja Rumah Tangga (PRT) telah disusun semenjak 2004. Namun sampai sekarang belum disahkan menjadi Undang-Undang. Notabene disisi lain adanya payung hukum secara khusus mengatur tentang PRT sangat dirasakan urgensi dan krusial. Fakta valid menunjukkan PRT adalah profesi pekerjaan yang rentan dieksploitasi, dimarjinalkan plus mendapat perlakuan semena-mena.

Data tahun 2017, PRT di Indonesia berjumlah 10 juta jiwa dan dianggap terbesar di dunia (bbc.com). Secara kuantitatif, angka tersebut bukan angka yang kecil dan sangat bersinggungan dengan hak-hak normatif plus hak perdata PRT yang berada dalam posisi lemah serta dilematis. Menurut Lita Anggraini koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), sampai Mei tahun 2017, ada 129 kasus kekerasan seperti upah tidak dibayar, pemutusan hubungan kerja menjelang lebaran serta THR yang tidak dibayar (bbc.com).

Disisi lain hak-hak normatif dijamin dalam konstitusi, Pada Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” lebih lanjut Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.

Menelaah bunyi Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945, jelas PRT sebagai warga negara berhak memperoleh perlindungan ketika melakukan pekerjaan guna mencapai kesejahteraan hidupnya. Negara harus hadir dan wajib dalam melindungi dan menegakkan hak-hak Konstitusional sekaligus hak normatif PRT. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan wajib mengakomodir keberadaan PRT, atau diperlukan konstruksi hukum secara khusus mengatur PRT. Karena kalau dilihat substansi UU ketenagakerjaan tidak ada mengatur PRT, disebabkan PRT termasuk pekerja informal. Sementara RUU PRT sendiri belum disahkan, dengan dalih ada hal lebih urgen dari draft PRT. Hal ini sebagaimana disampaikan ketua komisi IX DPR, Dede Yusuf yang mengatakan, sampai sejauh ini belum membahasnya, karena pihaknya harus memprioritaskan rancangan undang-undang disepakati untuk dibahas lebih dahulu (bbc.com).

Polemik lain mengakibatkan posisi PRT sangat lemah, disebabkan sampai sekarang Indonesia belum meratifikasi konvensi ILO No. 189 tentang pekerja rumah tangga, yang isinya mengamanatkan adanya upah minimum, jam kerja, libur dan hak-hak normatif PRT sebagai pekerja. Menurut data Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), sekitar 52,6 juta orang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, termasuk di luar negara mereka, di seluruh dunia. Namun, ILO tidak menutup kemungkinan bahwa jumlah tersebut sebenarnya mungkin mendekati angka 100 juta orang (bbc.com).

 

PRT & Permenaker No. 2/2015

Sebagaimana dikemukakan di atas PRT tidak ada diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003, karena PRT tergolong pekerja informal. Dengan kata lain UU Ketenagakerjaan tidak dapat menjangkau PRT. Notabene di sisi lain dikaitkan dengan perspektif perlindungan hukum terhadap hak-hak perdata PRT dalam hukum ketenagakerjaan akan terlihat rancu. Bagaimana PRT dapat menuntut hak-haknya, sementara tidak diatur dalam piranti perundang-undangan secara spesifik. Walaupun secara parsial dan terpisah, ada beberapa produk perundang-undangan memberikan perlindungan bagi PRT. Antara lain UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Kemudian Permenaker No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan bagi Pembantu Rumah Tangga. Dalam Permenaker tersebut telah diatur bahwa pembantu rumah tangga harus mendapatkan upah, cuti, dan jaminan sosial sesuai kesepakatan dan perlakuan yang manusiawi (Bisnis.com). Lebih lanjut Permen ini mengatur perlindungan bagi semua pembantu rumah tangga, baik pembantu yang direkrut melalui yayasan penyalur maupun yang direkrut dari perorangan. Termasuk mengatur standardisasi penampungan milik yayasan (bisnis.com).

Namun regulasi selevel Permenaker tersebut dirasakan kurang memadai, karena pada dasarnya dibutuhkan konstruksi hukum secara khusus atau selevel UU mengatur PRT. Sayangnya RUU PRT yang telah masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2010-2014, sampai sekarang belum disahkan dan masih terhambat karena belum adanya kesatuan pendapat di komisi IX DPR RI untuk membahas draf RUU PRT.

 

Konstruksi Hukum atau Revisi UU No. 13 Tahun 2003

Sebagaimana diketahui hukum adalah produk politik. Maka berbicara dalam konteks ini, sangat diperlukan keseriusan dan political will dari pihak pemerintah bersama DPR untuk segera mensahkan UU PRT. Karena sejatinya hal tersebut amanat konstitusi sebagaimana diatur Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945. Amanat konstitusi tersebut perlu direalisasikan segera, dengan membuat konstruksi hukum secara khusus atau UU ketenagakerjaan wajib direkonstruksi. Kalau UUD 1945 sudah diamandemen sampai empat kali, lalu apa susahnya merevisi UU ketenagakerjaan, dengan menyisipkan pengaturan PRT didalamnya sehingga muaranya perlindungan hukum bagi PRT dapat terakomodir secara konkret, lebih jauh tidak terjadi pendiskriminasian dan ambivalensi antara pekerja formal dengan informal. Semoga!!! 

*Penulis adalah Dosen STMIK & AMIK Logika Medan, Alumni FH-UMSU.