Amblasnya Jalan Gubeng Surabaya Ketentuan Pidana Sebagai Ultimum Remedium

Amblasnya Jalan Gubeng Surabaya Ketentuan Pidana Sebagai Ultimum Remedium

Penulis - Dr. Azmi Syahputra SH., MH.*

Amblesnya jalan Gubeng Surabaya Selasa, 18/12/2018 pada malam hari, dimana pada saat yang sama sedang berlangsung pembangunan area parkir basement Rumah Sakit Siloam telah menimbulkan banyak pertanyaan siapa yang dapat diminta pertanggungjawaban untuk peristiwa ini.

Untuk mengetahui pihak-pihak yang semestinya bertanggung jawab maka diperlukan penelusuran fakta-fakta lapangan dengan menurunkan para tim ahli agar lebih objektif dan profesional dan pendekatan hukum dibantu degan menggunakan metode pisau analisis yuridis dengan menerapkan unsur-unsur dalam undang-undang terkait dan undang-undang khusus untuk itu guna ditelaah dan mencari kausalitas dari kejadian amblasnya jalan tersebut serta menemukan siapa pelaku yang paling bertamggung jawab. 

Jika diperhatikan posisi kasus pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang dikerjakan oleh PT. NKE maka tidak heran sejak awal PT. NKE lebih dulu mengatakan akan bertangging jawab atas peristiwa ini.

Baca juga; Puluhan Jamaah Umroh Terlantar di Hotel

Kondisi Jalan Gubeng yang sudah lebih ada terlebih dahulu yang kini sedang masa tenggang pemeliharaan, di sisi lain oleh rumah sakit Siloam menugaskan dan menunjuk salah satu kontraktor  PT. NKE untuk dibangun sarana parkir rumah sakit yang juga mengeruk tanah yang cukup dalam dimana area pengerukan tanah untuk lokasi parkiran rumah sakit tersebut tidak jauh dari lokasi amblesnya jalan Gubeng ini.

Maka penyelidikan polisi diperlukan sebagai langkah awal yang tepat dan cepat yang tentunya akan semakin mendapatkan hasil lebih baik, bila  ditopang dengan tenaga ahli bidang konstruksi untuk mempetakan penyebab amblasnya jalan tersebut.

Dalam undang-undang konstruksi dikenal istilah kegagalan bangunan. Kegagalan bangunan ini akan ditentukan oleh penilai ahli yang dibentuk Menteri. Tim penilai ahli inilah yang akan menelusuri sebab-sebab terjadinya kegagalan bangunan atau jalan serta merekomendasi kepada Menteri pihak pihak yang akan bertanggungjawab dalam kegagalan konstruksi in case jalan raya Gubeg Surabaya.

Jika hasil temuan penyelidikan polisi disinergiskan dengan  hasil investigasi tim penilai ahli ini dipadukan hasil kerjanya tentunya akan lebih maksimal dan komprehensif guna menemukan faktor penyebab dan menemukan pihak yang paling bertanggungjawab jika ada pihak pihak yang tidak melaksakan pekerjaan konstruksi secara tidak standard.

Baca juga; Identitas Pemuda Muslim Zaman Now

Meskipun setelah perpaduan hasil penyelidikan polisi plus tenaga ahli penilai kementrian menemukan kesimpulannya, maka yang lebih penting adalah penentuan pertanggungjawaban pada para pihak.

Jika secara hukum kontrak  perdata  mengacu pada kewajibam, hak dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam perjanjian kontrak konstruksi tidak dijalankan sebagaimana mestinya dan para pihak tidak dapat menyelesaikan secara sukarela  atas kerugian atau kepentingan hukum Pemerintahan Kota Surabaya dan warga yang tergangggu,  katakanlah masing-masing pihak saling bertahan untuk tidak mau bertanggung jawab maka ketentuan klausula hukum pidana dapat dijadikan payung hukum untuk dijadikan sebagai upaya  terakhir (ultimum remedium) agar penerima kerja dapat bertanggungjawab segera dan dikenakan hukuman penjara plus ganti rugi berupa denda.

Karena untuk diketahui saat ini pasca tahun 2017 politik hukum undang undang konstruksi meminimalkan ketentuan pidana bagi pelaku usaha atau penerima kerja.

Baca juga; BPK Berkewajiban Laporkan Hasil Audit Ke Penegak Hukum

Pengenaan sanksi pidana ini sekali lagi hanya sebagai upaya terakhir karena pada dasarnya tidak ada satu pelaku usaha atau penerima kerjapun yang ingin pekerjaannya terjadi musibah atau amblas seperti dalam kejadian amblesnya jalan gubeng Surabaya ini karenanya unsur human error atau engenering error patut pula dipetakan dalam kasus ini.

Artinya apapun yg ditemukan dalam proses ini yang lebih penting dilakukan semua pihak yang disebut dan tercantum dalam undang-undamg konstruksi lebih mendorong upaya dan komitmen pemulihan segera yang saat ini sudah dilakukan secara optimal dan multisektor serta maksimal sesuai dengan standard agar terlayani kepentingan masyarakat untuk mendapatkan akses jalan seperti semula kembali.

 

* Penulis adalah Dosen Hukum Pidana Universitas Bung Karno, Alumni FH Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara - Medan (UMSU) dan Ketua Asosiasi Ilmuwan & Praktisi Hukum Pidana Indonesia (ALPHA).